Senin, 05 Oktober 2009

Teori kekuasaan dan Wewenang dalam Kehidupan Sehari-hari

Politik Ekologi Sosial

oleh: Graham Baugh

Terjemahan ini petikan dari The Politics of Social Ecology, salah satu esai yang dimuat dalam kumpulan Renewing the Earth, The Promise of Social Ecology. Ini kumpulan yang merayakan karya Murray Bookchin.

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup, manusia selalau berinteraksi dengan sesama serta dengan lingkungan. Manusia hidup berkelompok baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil.
Hidup dalam kelompok tentulah tidak mudah. Untuk menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis anggota kelompok haruslah saling menghormati dan menghargai. Keteraturan hidup perlu selalu dijaga. Hidup yang teratur adalah impian setiap insan. Menciptakan dan menjaga kehidupan yang harmonis adalah tugas manusia.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi disbanding makhluk Tuhan lainnya. Manusia di anugerahi kemampuan untuk berpikir, kemampuan untuk memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan kelebihan itulah manusia seharusnya mampu mengelola lingkungan dengan baik.
Tidak hanya lingkungan yang perlu dikelola dengan baik, kehidupan sosial manusiapun perlu dikelola dengan baik. Untuk itulah dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya yang berjiwa pemimpin, paling tidak untuk memimpin dirinya sendiri.
Dengan berjiwa pemimpin manusia akan dapat mengelola diri, kelompok dan lingkungan dengan baik. Khususnya dalam penanggulangan masalah yang relatif pelik dan sulit. Disinilah dituntut kearifan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan agar masalah dapat terselesaikan dengan baik.

Satu pemikiran sentral ekologi sosial adalah bahwa dominasi manusia atas alam berakar dari dominasi manusia yang satu terhadap manusia lainnya. Gagasan bahwa masyarakat harus ditataulang sesuai prinsip-prinsip ekologis – kesatuan dalam keragaman, spontanitas dan mutual aid – tidaklah berdasarkan analogi gampangan antara masyarakat dan alam. Melainkan didasarkan atas gagasan bahwa relasi antar mahluk hidup, membentuk dan menentukan relasi mereka dengan alam. Penghapusan dominasi manusia terhadap alam, memerlukan penghapusan dominasi di dalam masyarakat manusia.
Ekologi sosial menuntut penghapusan segala bentuk hierarki dan dominasi. Pertanyaan politis yang muncul kemudian adalah, apakah hal itu berarti penolakan total terhadap politik atau apakah masih memungkinkan sebuah politik tanpa hierarki dan dominasi.
Murray Bookchin tampil paling jelas menyuarakan visi masyarakat ekologis yang menghapus hierarki dan dominasi. Dalam prosesnya, ia mulai dengan membedakan antara masyarakat, politik dan negara, dengan cara tertentu, sehingga memungkinkan menggapai wilayah politik yang berjarak, yang berbeda dengan masyarakat dan negara. Misalnya, orang bisa menghapus negara tanpa harus menghapus bentuk-bentuk politik. Bentuk politik yang diperjuangkan Bookchin, yang dinilainya paling cocok dengan masyarakat ekologis, bolehlah kita sebut sebagai‚ demokrasi swa-kelola’. Elemen yang terpentingnya adalah kedirian yang mengelola demokrasi, sebuah publik otentik yang terdiri dari sekumpulan diri, kelompok-kelompok afinitas yang akan membentuk ‚tisue sel’ masyarakat tertentu dan tindakan-tindakan politis dari aksi langsung dan demokrasi langsung.

Demokrasi swa-kelola punya tujuan khusus. Yakni agar setiap anggota masyarakatnya, memiliki kemampuan kontrol efektif terhadap kehidupan dirinya masing-masing. Ini berdasarkan pada asumsi bahwa setiap orang mampu dan kompeten melakukan kontrol-kontrol tertentu. Untuk mencapai kontrol ini, yang diperlukan adalah menghapus semua konsentrasi kekuasaan ekonomi dan politis, sehingga kekuasaan pengambilan keputusan terdistribusi secara setara meliputi keseluruhan masyarakat. Bentuk-bentuk kontrol yang dimiliki individu kelak, tidak akan berarti kontrol terhadap yang lain, melainkan kontrol dengan mereka di dalam dewan-dewan publik hasil demokrasi langsung. Soal kontrol ini juga jangan dikacaukan dengan konsepsi instrumental tentang kontrol terhadap sesuatu, sebagai obyek atau alat untuk mewujudkan kepentingan seseorang. Konsep yang belakangan ini mengarah ke obyektifikasi dan dominasi dari mereka yang difungsikan sebagai alat. Karena itulah mungkin akan lebih baik berbicara tentang ‚partisipasi setara dalam proses politik’ ketimbang ‚kontrol individual’.

Partisipasi setara, digabungkan dengan organisasi non-hierarkis, menawarkan basis untuk demokrasi swa-kelola tanpa spesialisasi politis yang, dengan struktur dasarnya, memang diniatkan untuk menjaga berkembangbiaknya dominasi politik dan ketimpangan kekuasaan. Tapi demokrasi swa-kelola tidak bisa ditangkap dalam pengertian institusional atau istilah-istilah struktural yang sepenuhnya murni. Seperti juga bentuk-bentuk organisasi politis lainnya, ia juga mengandaikan konsepsi-konsepsi tertentu tentang masyarakat. Partisipasi setara itu sendiri membutuhkan kesetaraan sosial. Tapinya juga bukan kesetaraan dalam arti setimbang. Melainkan, dalam istilah Bookchin, kesetaraan substantif yang digambarkannya sebagai ‚kesetaraan dari ketimpangan’. Untuk yakin bahwa setiap orang memiliki kemampuan yang sama — bukan sekedar sebuah kesempatan yang sama — untuk turut serta dalam manajemen urusan-urusan sosial, dibutuhkan tindakan pengimbangan bagi orang-orang yang sebelumnya tidak punya kemampuan untuk itu. Dengan demikian mereka bisa turut serta dalam kehidupan sosial pada tingkatan yang sama dengan yang lain. Selain memperlakukan semua orang secara sama, orang juga diperlakukan dengan cara yang paling sesuai dengan situasi mereka.

Betapapun, hal ini tidak berarti diterimanya relasi timpang yang inheren dalam status dan kekuasaan. Relasi dominan yang didasarkan pada kelas, seks atau ras tidak sesuai dengan konsepsi demokratis kehidupan sosial. Yang begituan tidak bisa dialihkan atau diimbangi dengan sesuatu, tapi harus dihapuskan. Guna memungkinkan setiap orang turut serta dalam urusan-urusan sosial pada tingkatan yang setara, dibutuhkan bukan saja tindakan menyamakan kemampuan terlebih dahulu, tapi juga penghapusan dominasi dan ketimpangan kekuasaan dalam relasi interpersonal.
Partisipasi setara, jika mau lebih dari sekedar formalitas doang, juga membutuhkan, secara kasar saja, kompetensi sosial yang setara dalam manajemen kehidupan publik. Dengan kata lain, manajemen-diri punya anggapan awal tentang sesosok diri yang kompeten untuk mengelola masyarakat secara langsung. Sesosok diri yang terbentuk tidak hanya melalui keikutsertaan dalam proses demokratis itu sendiri, tapi juga melalui interaksi dengan yang lain dalam berbagai relasi sosial yang egaliter dan sukarela. Melalui interaksi tertentu inilah seseorang mengembangkan karakter moral, identitas personal dan berbagi nilai-nilai dan keyakinan sehingga memungkinkan orang untuk terlibat dalam wacana rasional dengan yang lain. Kosakata berbagi moral dan nilai-nilai dalam konsep intersubyektif ini menawarkan basis bagi penjadian, secara saling menguntungkan dan dapat dimengerti, keberagaman praktek-prektek sosial dalam kehidupan sehari-hari – misalnya dalam hal janji atau saling berjanji. Diri yang kompeten secara sosial, dengan demikian, beranggapan awal tentang masyarakat yang disuarakan dengan segenap kekayaannya dan dari situlah ia terus berkembang.

Tanpa hal itu, sosok diri akan terkikis menjadi sosok teralienasi, ego yang berdiri sendirian dan lapuk dimakan erosi, moralitas menjadi sekedar ekspresi selera yang sewenang-wenang dan nalar dikikis statusnya cuma sebagai alat untuk mencapai kesewenangan selera itu. Proses ini lebih diperburuk dengan dihantarkannya setiap elemen pemaksaan atau dominasi ke dalam kehidupan sosial. Bukannya bertindak sesuai dengan nalar mereka masing-masing, orang jadinya malah bertindak di atas dasar bujukan dan ancaman. Nalar akan digunakan untuk memanipulasi dan mendominasi yang lain. Nalar menjadi instrumen kehendak untuk berkuasa ketimbang sebagai perkakas pencerahan dan penyadaran yang saling berbalasan. Jika pengambilan keputusan demokratis menjadi lebih sebagai penjumlahan total selera yang sewenang-wenang dan nalar condong sebagai instrumen ambisi, perkembangan ‚nalar’ publik yang meninggikan subyektivitas individual, yang diciptakan melalui interaksi dengan yang lain dalam keberagaman situasi dan relasi, menjadi kebutuhan utama yang tak tertolak.
Soal ini membutuhkan transformasi masyarakat yang beranjak mulai dari relasi sosial yang paling dasar terus bergulir ke atas. Di tengah masyarakat kontemporer, tampaknya locus primer pembentukan karakter dan perkembangan kesadaran berada pada relasi keluarga inti. Lantaran ia dibesarkan oleh struktur patriarki, maka ia menawarkan model yang tidak sesuai bagi masyarakat ekologis. Ia menyuntikkan karakter otoriter, menyebarkan kepasrahan terhadap penguasa dan memangkas tumbuh-bebasnya individualitas perempuan. Ia adalah dominasi laki-laki yang dilembagakan dan disucikan oleh Gereja dan Negara.

Kendati kesan bagusnya ia bersifat sukarela, diijinkannya relasi perkawinan, sekali ia diberikan, hanya bisa ditarik kembali lewat ijin Negara dan Gereja. Di dalam relasi perkawinan itu sendiri, di banyak kawasan, perempuan masih tetap tidak bisa melepaskan diri dari relasi seksual, karena perkosaan oleh suami masih diluar kewenangan hukum. Basis kesepakatan perkawinan cenderung sebagai samaran dan mengkacaukan sifat aslinya. Para perempuan di kebanyakan masyarakat, walaupun statusnya berada di bawah para lelaki, toh sering digambarkan sebagai individu yang bebas dan setara dalam relasi yang sukarela. Dalam pertukaran dengan keamanan dan perlindungan yang mengada-ada (yang melahirkan epidemi kekerasan terhadap perempuan dalam relasi keluarga), perempuan memberikan pelayanan seksual, membesarkan anak dan tenaga buruh tak berupah. Bahkan dibawah standar borjuis, itu pun bukan pertukaran yang adil.
Guna menjamin partisipasi setara lelaki dan perempuan dalam kehidupan sosial, sangatlah prinsipil untuk menjamin bahwa relasi antar lelaki dan perempuan benar-benar berada dalam kesepakatan egaliter dan sukarela. Kedua jenis kelamin itu harus bebas berkembang sebagai individu sesuai dengan kebutuhan dan hasrat masing-masing. Keduanya membutuhkan bentuk baru persekutuan intim yang ramah, didalamnya masing-masing mengembangkan kapasitas individualnya untuk bertindak dalam kooperasi dengan yang lainnya dan untuk mengolah penilaian politis dan moral. Asosiasi bentuk baru ini, yang akan membentuk dasar ‚sel tisue’ masyarakat ekologis, akan berupa kelompok-kelompok yang karib, kelompok afinitas.
Kelompok afinitas adalah sebuah asosiasi kecil, non-hierarkis, sukarela dari individu-individu yang saling berbagi tidak hanya impian-impian dan tujuan-tujuan tertentu, melainkan juga ‚kebutuhan untuk mengembangkan relasi sosial libertarian yang baru antar mereka, secara slaing menguntungkan saling belajar, berbagi problem dan mengembangkan ikatan dan aktivitas baru, non-sexist, non-hierarkis ’(1).

Kekariban kelompok kecil dan karakter kesukarelaannya, menumbuhkan solidaritas sejati dan pengenalan mutual dari otonomi dan harga diri masing-masing orang. Keterpaksaan biologis dan volunterisme pura-pura dari kontrak perkawinan akan digantikan oleh komitmen sukarela kepada modus organisasi yang non-hierarkis dimana setiap orang menikmati status dan tanggungjawab yang sama. Melalui interaksi kelompok afinitas, orang-orang mengembangkan kepekaan non-hierarkis dan kompetensi sosial dari diri yang terbebaskan bagi sebuah masyarakat swa-kelola.

Kelompok afinitas tidak membentuk sebuah unit yang terisolasi dari masyarakat. Ia berakar dari lokalitas autentik dirinya dan tergabung dengan kelompok-kelompok lain dalam jaringan kerja horisontal secara berkelanjutan, perlahan tapi pasti berkembang merespon tantangan kebutuhan dan kondisi sekitarnya. Akan ada perkembangbiakan ikatan-ikatan sosial yang konstan manakala kombinasi-kombinasi baru dari berbagai kelompok muncul sebagai pemenuhan kebutuhan-kebutuhan baru. Masing-masing kelompok terdesentralisasi, berada dalam skala manusia dan berdasarkan pada konsensus, serta tetap dapat dimengerti dan responsif terhadap dinamika anggota-anggotanya. Pada tingkatan keorganisasian yang lebih tinggi, koordinasi bisa dicapai melalui pemanfaatan perwakilan-perwakilan yang selalu bisa ditarik kembali kewenangannya (recallable) dan dengan kekuasaan pengambilan keputusan yang tidak berdiri sendiri. Bookchin menegaskan bahwa dalam jaringan kerja yang berdasarkan struktur kelompok afinitas, ‘kekuasaan sebenarnya menipis secara beraturan ketimbang meningkat pada setiap lapis koordinasi ke atas’ (2).

Sementara kelompok afinitas menyatakan unit sosial paling mendasar dari masyarakat ekologis, aksi langsung menyatakan tindakan sosial melalui itu individu menegaskan kemampuan mereka untuk mengontrol kehidupan milik mereka sendiri. Aksi langsung bukan sekedar taktik, melainkan ekspresi politis dari kompetensi individu untuk secara langsung terjuan berperan dalam kehidupan sosial dan mengelola urusan-urusan sosial tanpa mediasi, perwakilan atau kontrol dari para birokrat atau politisi profesional. Individu menerapkan aksi langsung sebagai pengganti, ketimbang mempercayakan kepada orang lain untuk bertindak bagi kepentingan dirinya. Tindakan ini meliputi aktivitas-aktivitas dalam skala luas, dari mengorganisasikan kerjasama sampai ke untuk membangkitkan resistensi tanpa kekerasan terhadap kekuasaan atau kewenangan. Struktur kelompok afinitas kerap menawarkan wahana yang cantik bagi terselenggaranya aksi langsung, yang menempatkan komitmen moral di atas hukum positif. Hal ini tidak berarti sebagai satu-satunya upaya yang terakhir jika cara lain gagal dijalankan. Tawaran itu sekedar jajaran pilihan untuk melakukan sesuatu. Ia memungkinkan warga untuk mengembangkan sentuhan baru rasa percaya diri dan sebagai kesadaran kuasa individual dan kolektif mereka. Didasarkan pada gagasan bahwa seseorang bisa mengembangkan kompetensi sosial dan kemampuan untuk mengatur diri sendiri hanya melalui latihan, maka ia mengajukan bahwa seluruh anggotanya secara langsung memutuskan masalah-masalah penting yang mereka hadapi. Dalam ruang politik, hal ini menegaskan penerapan demokrasi langsung. Ketimbang memasrahkan diri pada wakil-wakil hasil pemilu, orang-orang dan warga mengolah keputusan-keputusan politik oleh diri mereka sendiri di dewan-dewan umum.
Bagi Bookchin, demokrasi langsung menuntut desentralisasi dan skala manusia, ‚penataan kehidupan kota sebagai bentuk yang dapat dimengerti dari kehidupan publik’, yang mana tidak hanya bentuk-bentuk, struktur dan organisasi sosial yang dilahirkan komunitas itu bisa dimengerti oleh setiap orang, tetapi juga ‚sesungguh-sungguhnya individu-lah ….yang membentuk sosok kewargaan’ (3).

Anggota-anggota komunitas bertemu dalam dewan-dewan demokratis secara langsung, bisa memperdebatkan masalah-masalah bersama dan menyusun kebijakan-kebijakan demi tercapainya tujuan-tujuan kolektif. Keturutsertaan dalam proses politik punya dampak edukatif, menciptakan sebuah ‚pembesaran mentalitas’ yang tidak terjerat kepentingan-kepentingan sempit yang tertentu dan menumbuhkan penilaian politis yang autentik. Debat publik dan diskusi membantu mengembangkan konsepsi bersama tentang kebaikan publik yang mengacu kepada kehidupan sosial yang mau ditata dan konflik yang mau diatasi. Relasi sosial menjadi transparan bagi semua dan menjadi pokok yang berada dibawah kontrol manusia. Melalui komunikasi berhadap-hadapan muka langsung, warga mengembangkan kesadaran diri dan komunal. Setiap orang merasa sebagai bagian sebuah kehadiran fisik, sesosok tubuh politik, di dalamnya ia adalah sepenuhnya anggota aktif. ‚Partisipasi langsung dalam kehidupan sosial dan pengembangan daulat-diri secara mutual memperkuat masing-masing orang untuk membentuk kebajikan dan komitmen kewargaan dari setiap warganya,(4)’ tulis Bookchin.

Keikutsertaan dalam dewan harus terbuka lebar bagi segenap anggota komunitas. Ini membutuhkan lebih dari sekedar tanda diterima formal bagi keanggotaan individual. Setiap orang memerlukan alat, perkakas, yang memadai agar memungkinkan ia berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang luas dan bobot perannya setara dengan yang lainnya. Ini adalah kebutuhan ‚minimal mutlak’ dari jaminan material dan waktu bebas bagi semua. Ada satu kepentingan publik yang penting dalam organisasi produksi dan konsumsi dalam masyarakat ekologis, yang menjamin ‚minimal mutlak’ dan untuk memastikan bahwa teknologi tepat-guna dan metode-metodenya, secara ekologis, digunakan. Hanya untuk alasan inilah, kepemilikan privat alat-alat produksi tidak sesuai bagi masyarakat ekologis. Kewenangan privat seorang boss dan eksploitasi buruh upahan, tidak cocok dengan karakter relasi bebas dan sukarela dari masyarakat swa-kelola. Kendati tempat kerja, melalui dirinya sendiri, tidak menyatakan sebuah ruang publik yang autentik, ia tetap perlu diorganisasikan sesuai prinsip-prinsip swa-kelola para pekerja.
Kebijakan sosial harus diputuskan oleh semua anggota komunitas di dalam dewan umum. Namun jika penerapan kebijakannya membutuhkan serangkaian tindakan administratif, hal ini bisa dicapai melalui ‚badan administratif terbatas yang berada di bawah aturan rotasi, recall, pembatasan masa jabatan dan, apabila memungkinkan, dipilih melalui penyaringan’ (5).

Ini akan menjaga berkembangnya spesialisasi politik dan munculnya birokrasi permanen dengan kepentingannya sendiri dan agenda untuk mencengkeram. Relasi antara komunitas-komunitas dapat didasarkan pada konsepsi anarkis tentang federalisme – sebuah asosiasi yang terus meluas, yang terfederasi secara bebas dari komunitas-komunitas otonom.
Orang bisa menjelaskan sketsa awal dari demokrasi swa-kelola; sedangkan segala detail-detailnya akan memerlukan penerapan dalam praktek melalui individu-individu bebas yang terasosiasi dalam beragam kelompok-kelompok sukarela yang terorganisir secara non-hierarkis. Meskipun demikian, ada beberapa isu umum yang dapat diangkat merujuk ke ajuan Bookchin untuk demokrasi langsung dan relasinya dengan ideal-ideal ekologis sebuah masyarakat tanpa hierarki dan dominasi.
Satu yang terpenting dari pemikiran Bookchin, adalah bahwa memungkinkan untuk menyelenggarakan politik tanpa Negara. Di atas wilayah aktivitas dan relasi sosial sehari-hari, apakah di tempat kerja atau dalam kekariban kelompok afinitas, ada sebuah kebutuhan akan ruang publik yang autentik di mana seluruh anggota komunitas bisa saling bertemu untuk berdebat atau mendiskusikan masalah-masalah, dan untuk memutuskan tindakan-tindakan demi kepentingan umum. Untuk menyatakan bahwa pemerintah bisa digantikan oleh bengkel kerja dan administrasi sederhana, sebagaimana pernah dilakukan Proudhon, menunjukkan sebuah kesalahpahaman tentang peran kerja dalam masyarakat. Tempat kerja hanyalah satu kawasan di dalamnya orang-orang berasosiasi. Kepentingan-kepentingan yang direpresentasikannya terlampau terbatas dan sempit untuk menjangkau kepentingan umum yang melibatkan segenap anggota komunitas.
Begitu juga administrasi : ia tidak lagi sesederhana sebagaimana dibayangkan sosialis abad ke 19 seperti Proudhon. Bahkan badan administratif yang dibatasi bisa membiakkan kepentingan-kepentingannya sendiri dan merebut kontrol atas wilayah-wilayah tertentu kehidupan sosial dari komunitas pada umumnya. Pengawasan institusional, seperti pembatasan masa jabatan dan seleksi melalui penyaringan, amatlah perlu untuk menjaga badan administratif agar ia tidak menghisap sumber kekuasaan sosial lalu berdiri terpisah. Proudhon sendiri menyadari keterbatasan pandangan-pandangan awalnya dan lalu mendukung bentuk demokrasi langsung dan federalisme dalam karya-karyanya yang belakangan (6).

Kepercayaan begitu saja pada spontanitas juga bisa salah tempat. Orang tidak bisa hanya berserah di bawah naungan Tuhan untuk memastikan bahwa kehidupan sosial akan tumbuh seiring garis libertarian. Pada masyarakat tertentu, beberapa orang toh menikmati keuntungan-keuntungan di atas yang lainnya, sesuatu yang terjadi dengan simpel lantaran kebajikan di kondisi sekitar personal tertentu, karena bakat individual yang lebih menonjol dan, terkadang, karena peristiwa-peristiwa kebetulan. Bahkan dalam sebuah masyarakat yang sepenuhnya berdasarkan asosiasi sukarela, asosiasi-asosiasi mungkin tampil menguntungkan bagi segmen tertentu di masyarakat di atas beban segmen lainnya. Manakala tidak ada perangkat instusional yang mengurusi perbedaan keuntungan dan kekuasaan, atau yang menjaga mereka dari disparitas itu sedari awal, konflik sosial terbuka dan pergumulan akan pecah. Jika tidak ada arena bagi artikulasi publik mengenai nilai-nilai dan tujuan-tujuan sosial, tatanan mungkin tergelar melalui kepatuhan tak terpikirkan kepada kebiasaan sosial dan tradisi, yang tetap tak teruji melalui kesadaran kritis.
Dalam demokrasi swa-kelola, keganjilan-keganjilan takdir digantikan oleh kontrol sosial yang sadar, melalui individu-individu bebas yang sadar dan kompeten secara sosial dan antar mereka saling terasosiasikan. Setiap anggota komunitas punya suara yang sama dalam mengelola urusan-urusan sosial. Relasi sosial tampil transparan di bawah sorotan diskusi dan debat publik. Tebal-gelapnya kebiasaan dan tradisi digantikan oleh artikulasi sadar komunitas dalam dewan yang setiap aturannya dipatuhi. Masyarakat tampil otonom dalam arti mengatur-diri sepenuhnya. Pada saat yang sama ketika warga diikat oleh aturan yang mereka ciptakan, mereka tetap berdiri superior terhadap sekumpulan aturan tersebut. Maksudnya, memungkinkan bagi mereka untuk mengubahnya setiap saat, sepanjang kebutuhan dan kondisi sekitar yang baru memang menuntut itu. Dewan menawarkan sebuah forum untuk ekspresi bagi seluruh kepentingan yang banyak itu, yang berasal dari berbagai anggota komunitas, dan tidak hanya kepentingan-kepentingan khusus dari kelompok-kelompok tertentu saja – misalnya, kelompok buruh atau lelaki saja. Dengan demikian memungkinkan berkembangnya kepentingan umum yang sejati dan pada akhirnya untuk kemungkinan meninggikan pengertian kepentingan yang bisa menjangkau solidaritas dan komunitas.
Begitu demokrasi swa-kelola menciptakan sebuah wilayah publik yang berbeda dengan yang semata-mata sosial, maka ia menciptakan sebentuk politik yang berbeda dengan Negara. Negara adalah sebuah organisasi hierarkis yang menerapkan kekuasaan dan kewenangan terpusat terhadap segala sesuatu yang ia klaim berada di bawah jurisdiksi atau kewenangannya. Partisipasi setara di bawah Negara modern, jelas mustahil mengingat begitu besar dan kompleksnya Negara. Negara tidak akan hadir tanpa birokrasi permanen dan aparat yang memaksakan tatanan terhadap massa yang tak patuh, yang dijauhkan dari kekuasaan yang real.
Demokrasi swa-kelola, sebaliknya, terdesentralisasi sehingga kehidupan sosial berada dalam skala yang dapat dimengerti. Semua anggota komunitas berpartisipasi setara dalam aturan sosial. Tak seorang pun yang ditendang keluar dari dewan, itulah kursi sejati kekuasaan sosial kolektif. Dewan umum dan bentuk-bentuk lain asosiasi, dari kelompok afinitas sampai tempat kerja, diorganisasikan di atas basis non-hierarkis. Kewenangan tersebar ke seluruh anggota komunitas. Birokrasi dijaga oleh, apabila diperlukan, struktur badan administratif terbatas yang bisa di-recall, dibatasi masa jabatannya dan diseleksi lewat penyaringan. Tidak ada kebutuhan akan aparat yang memaksa, sebab warga berada di bawah aturan yang mereka ciptakan sendiri dan bisa berubah.
Negara, utamanya, adalah sebuah organisasi yang diluar kemauan. Mereka yang menolak kewenangannya dan mengabaikan aturan-aturannya akan dibui atau diasingkan. Guna membangun bentuk politik yang sepenuhnya berbeda dengan Negara, demokrasi swa-kelola harus berada dalam kerangka kesukarelaan. Hanya mereka yang sukarela bersepakat ikut serta dalam dewan yang bisa terikat dalam keputusan-keputusannya. Jurisdiksi atau cakupan kewenangannya tidaklah didasarkan pada geografi atau sekumpulan kekuasaan tertinggi, melainkan di atas pengertian kewajiban yang dia tentukan sendiri. Dengan berasosiasi bebas dengan yang lain untuk maksud pengambilan keputusan kolektif, warga membuat ikatan horisontal tentang kewajiban politik antar mereka sendiri, ketimbang antar mereka dengan kumpulan yang terpisah seperti ‚Negara‘ (7).

Sebentuk pengertian tentang kewajiban yang ditentukan sendiri, amatlah perlu untuk memastikan bahwa demokrasi swa-kelola memang membangun bentuk organisasi politik yang benar-benar mengenyahkan dominasi. Ia mendasarkan diri pada gagasan bahwa pilihan demokratis haruslah analog dengan tindakan sosial memberi janji. Sebuah pilihan adalah tindakan publik untuk berkomitmen, dengan itu seseorang mengikatkan perilaku di masa selanjutnya. Penerapannya mengandaikan kompetensi sosial untuk memberikan penilaian politik, seperti halnya juga sebuah janji yang mengandaikan kemampuan untuk membuat penilaian moral. Setiap individu harus memutuskan apakah dia sebaiknya meneguhkan diri pada sekumpulan aturan di masa selanjutnya. Dengan demikian, mengeluarkan sebuah janji dan memilih demokrasi langsung mengandaikan – dan bukannya mengabaikan — adanya otonomi individu, kemampuan bernalar secara kritis dan bebas memilih tindakan-tindakannya sendiri.

1 komentar:

  1. tens kawan atas blognya,.. kapan2 mampir ke blokkujiga ya,.. raimkarana.blogspor.com

    BalasHapus