Selasa, 05 Januari 2010

JOB ENRICHMENT

JOB ENRICHMENT

Kepuasan kerja mempunyai peranan penting terhadap prestasi kerja karyawan, ketika seorang karyawan merasakan kepuasan dalam bekerja maka seorang karyawan akan berupaya semaksimal mungkin dengan segenap kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan tugasnya, yang akhirnya akan menghasilkan kinerja dan pencapaian yang baik bagi perusahaan.

Kepuasan kerja mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap produktivitas organisasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketidakpuasan merupakan titik awal dari masalah-masalah yang muncul dalam organisasi seperti kemangkiran, konflik manager-pekerja dan perputaran karyawan. Dari sisi pekerja, ketidakpuasan dapat menyebabkan menurunnya motivasi, menurunnya moril kerja, dan menurunnya tampilan kerja baik.

Job enrichment adalah memperluas rancangan tugas untuk memberi arti lebih dan memberikan kepuasan kerja dengan cara melibatkan pekerja dengan pekerjaan perencanaan, penyelenggaraan organisasi dan pengawasan pekerjaan sehingga job enrichment bertujuan untuk menambah tanggung jawab dalam pengambilan keputusan, menambah hak otonomi dan wewenang merancang pekerjaan dan memperluas wawasan kerja.

Job enrichment dapat meningkatkan otonomi seseorang dalam mengatur pekerjaannya. Misalnya seorang petugas di dalam melakukan pekerjaannya sebelum diatur oleh suatu prosedur yang ketat, di mana dia tidak di berikan wewenang atau hak untuk memilih metode yang dia anggap paling efektif, untuk memilih bahan-bahan yang di butuhkan, atau untuk mengatur pekerjaannya. Perubahan ini akan memberikan tantangan yang lebih besar bagi dia dan diharapkan dapat meningkatkan kepuasan kerja dan produktifitasnya.



CONTOH :

Di sebuah perusahaan ada seorang kepala bagian marketing. Oleh perusahaan ia akan dinaikan jabatannya sebagai manager marketing di perusahaan tersebut. Sebelum ia naik ke jabatan tersebut, perusahaan meminta agar ia mengambil kuliah untuk mendapatkan gelar S2 dan juga ia diminta agar mengikuti training yang disediakan oleh perusahaan. Hal tersebut berguna untuk menambah wawasan dan kemampuan yang ia miliki, agar kemampuan tersebut dapat digunakan untuk membantu memajukan perusahaan.

Job Range,,

Menunjukan banyaknya jenis pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang.

Contoh :

Seorang mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di suatu universitas ia juga dapat membantu anak-anak dibawah jenjang pendidikannya untuk mengajar anak –anak tersebut dengan cara membuka tempat les atau tempat untuk belajar.

Job Deptn,,

Menunjukan keleluasaan seseorang dalam menyelesaikan pekerjaannya.

Contoh : dokter spesialis,,

Disuatu hotel atau resturan ada seorang koki yang khusus atau memasak masakan cina. Disini ia mempunyai keahlian khusus hanya memasak masakan cina. Ia mendalami pembuatan masakan cina.

sikap kerja dan kepuasaan kerja

Pengertian kepuasan kerja
Blum (Anoraga, 1992) menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan sikap umum yang merupakan hasil dari beberapa sifat khusus terhadap faktor-faktor pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan sosial individu di luar kerja. Hal ini merupakan suatu kondisi yang subyektif dari keadaan diri seseorang sehubungan dengan senang atau tidak senang sebagai akibat dari dorongan atau kebutuhan yang ada pada dirinya dan dihubungkan dengan kenyataan yang dirasakan. Kepuasan kerja adalah erat kaitannya dengan apa yang diharapkan karyawan dari pekerjaannya sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan.

Biasanya orang akan merasa puas atas kerja yang telah atau sedang ia jalankan, apabila apa yang ia kerjakan telah memenuhi harapan salah satu tujuannya bekerja. Apabila seseorang mendambakan sesuatu, berarti ia memiliki suatu harapan dengan demikian ia akan termotivasi melakukan tindakan ke arah pencapaian harapan tersebut. (Manullang, 1984).Mangkunegara (1993), mendefinisikan kepuasan kerja adalah suatu perasaan yang menyokong atau tidak menyokong dari karyawan yang berhubungan dengan kondisi dirinya. Perasaan yang berhubungan dengan pekerjaan melibatkan aspek-aspek upah atau gaji yang diterima, kesempatan pengembangan karir, hubungan dengan karyawan lainnya, penempatan kerja jenis pekerjaan, struktur organisasi perusahaan, mutu pengawasan, sedangkan perasaan yang berhubungan dengan dirinya antara lain umur, kondisi kesehatan, kemampuan, pendidikan dan sebagainya. Karyawan akan merasa puas dalam bekerja apabila aspek-aspek pekerjaan dan aspek-aspek dirinya menyokong dan sebaliknya jika aspek-aspek tersebut tidak menyokong, karyawan akan merasa tidak puas.

Menurut Jewell dan Siegall (1998) kepuasan kerja adalah sikap yang timbul berdasarkan penilaian terhadap situasi kerja. Yang merupakan generalisasi sikap-sikap terhadap pekerjaannya yang bermacam-macam. Kepuasan kerja erat kaitannya dengan keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan menurut cara karyawan memandang pekerjaan mereka.

Berdasarkan pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kepuasan kerja adalah suatu perasaan dan sikap positif karyawan terhadap pekerjaannya, kondisi, situasi kerja, interaksi dan peran karyawan dalam lingkungan kerja yang berkaitkan dengan kebutuhan yang akan dicapai dengan kenyataan yang ada.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja
Menurut Burt (Anoraga, 1992) faktor yang menentukan terbentuknya kepuasan kerja adalah :
a. Lingkungan, terdiri dari tingkat pekerjaan, isi pekerjaan, pimpinan yang penuh perhatian, kesempatan promosi dan interaksi sosial dan bekerja dalam kelompok.
b. Faktor individual, terdiri dari jenis kelamin, lamanya bekerja dan tingkat pendidikan.
c. Rasa aman merupakan situasi tentram dalam kerja, rasa bebas dari tekanan kebijaksanaan, jaminan dan kelangsungan pekerjaan yang dirasakan pekerja.
d. Kondisi kerja merupakan kenyamanan ruang kerja yang dirasakan dapat mempengaruhi aktivitas kerja, luas sempitnya ruangan, prgantian udara, terbuka dan tertutupnya ruangan dan suasana ketenangan kerja.
e. Waktu istirahat, maksudnya adalah istirahat yang resmi diberikan perusahaan, yang tidak resmi yang dibutuhkan oleh pekerja.
As’ad, (1992) mengemukakan faktor-faktor kepuasan kerja :
a. Faktor pemimpin dan karyawan, faktor fisik dan kondisi kerja, hubungan sosial di antara karyawan, sugesti dari teman sekerja, emosi dan situasi kerja.
b. Faktor individu, yaitu yang berhubungan dengan sikap orang terhadap pekerjaannya.
c. Faktor luar, yaitu dukungan yang berasal dari luar diri individu misalnya keluarga.
Kepuasan kerja berhubungan erat dengan aspek seperti umur, tingkat pekerjaan dan ukuran organisasi perusahaan (Jewell dan Siegall, 1998)
a. Umur, ada kecenderungan karyawan yang lebih tua lebih merasa puas dari karyawan yang berumur relatif lebih muda. Hal ini diasumsikan bahwa karyawan yang lebih tua telah berpengalaman sehingga ia mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaan, sedangkan karyawan usia muda biasanya mempunyai harapan yang ideal tentang dunia kerjanya, sehingga apabila harapannya dengan realita kerja terdapat kesenjangan, atau ketidakseimbangan dapat meyebabkan mereka menjadi tidak puas.
b. Tingkat pekerjaan, karyawan yang menduduki tingkat pekerjaan yang lebih tinggi cenderung lebih puas daripada karyawan yang tingkat pekerjaannya lebih rendah. Hal tersebut dapat terlihat pada karyawan yang tingkat pekerjaannya lebih tinggi menunjukkan kemampuan kerja yang baik dan aktif mengemukakan ide-ide serta kreatif dalam bekerja.
c. Ukuran organisasi perusahaan, ukuran organisasi perusahaan dapat mempengaruhi kepuasan karyawan. Hal ini karena besar kecil suatu perusahaan berhubungan pula dengan koordinasi, komunikasi dan partisipasi karyawan.
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi dalam kepuasan kerja antara lain yaitu : pemimpin dan karyawan, jenis kelamin, lamanya bekerja dan tingkat pendidikan, lingkungan, rasa aman, kondisi kerja, umur, tingkat pekerjaan, lingkungan, waktu istirahat, dukungan yang berasal dari luar diri dan ukuran organisasi perusahaan.

3. Aspek-aspek pengukuran kepuasan kerja
Menurut Jewell dan Siegall (1998) beberapa aspek dalam mengukur kepuasaan kerja:
a Aspek psikologis, berhubungan dengan kejiwaan karyawan meliputi minat, ketentraman kerja, sikap terhadap kerja, bakat dan ketrampilan.
b. Aspek sosial, berhubungan dengan interaksi sosial, baik antar sesama karyawan dengan atasan maupun antar karyawan yang berbeda jenis kerjanya serta hubungan dengan anggota keluarga.
c. Aspek fisik, berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja, pengaturan waktu istirahat, keadaan ruangan, suhu udara, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan dan umur.
d. Aspek finansial berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan karyawan, yang meliputi sistem dan besar gaji, jaminan sosial, tunjangan, fasilitas dan promosi.
Gilmer (dalam As’ad, 1995) berpendapat bahwa ada beberapa aspek yang mempengaruhi

kepuasan kerja, yaitu :
a. Kesempatan untuk maju; Adalah ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan kemampuan selama kerja.
b. Keamanan kerja; Aspek ini sering disebut penunjang kepuasan kerja, baik bagi karyawan pria maupun wanita. Keadaan yang aman sangat mempengaruhi perasaan karyawan selama kerja.
c. Gaji; Gaji lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan dan jarang orang mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang diperolehnya.
d. Perusahaan dan manajemen; Perusahaan dan manajemen yang baik adalah yang mampu memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil. Aspek ini yang menentukan kepuasan kerja karyawan.
e. Pengawasan (supervisi); Bagi karyawan, supervisor dianggap sebagai figur ayah sekaligus atasannya. Supervisi yang buruk dapat berakibat absensi dan turn over.
f. Aspek intrinsik dari pekerjaan; Aspek yang menyebabkan seseorang menyukai pekerjaan karena pekerjaan itu sendiri.
g. Kondisi kerja, Termasuk di sini adalah kondisi tempat, ventilasi, penyinaran, kantin dan tempat parkir.
h. Aspek sosial dalam pekerjaan; Merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan, tetapi dipandang sebagai aspek yang menunjang puas atau tidak puas dalam kerja.
i. Komunikasi. Komunikasi yang lancar antar karyawan dengan pihak manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini adanya kesediaan atasan untuk mau mendengar, memahami, dan mengakui pendapat umum ataupun prestasi karyawannya sangat berperan dalam menimbulkan rasa puas.
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan aspek-aspek yang pengukuran dalam kepuasan kerja karyawan antara lain psikologis, fisik, sosial, pekerjaan itu sendiri, promosi, gaji dan jaminan sosial, teman sekerja dan aspek pengawasan atau supervisi.

TEORI KEPUASAAN KERJA DAN SIKAP KERJA

ANALISI TEORI KEPUASAAN KERJA

PENDAHULUAN
Kepuasan kerja dalam teori motivasi Maslow menempati peringkat yang tinggi. Sebab ia berkaitan dengan tujuan manusia untuk merealisasikan dan mengaktualisasikan potensi dirinya dalam pekerjaan. Namun motivasi ini kadang terbendung oleh berbagai ragam kerutinan, hambatan lingkungan kerja yang kurang seimbang, atau situasi dan perangkat kerja yang secara ergonomis tidak mendukung peningkatan produktivitas kerja. Stres yang dialami karyawan dan kepuasan kerja yang didambakan seolah merupakan dua kondisi yang bukan saja berkaitan, tetapi sekaligus antagonistis.
Karyawan dan perusahaan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Karyawan memegang peran utama dalam menjalankan roda kehidupan perusahaan. Apabila karyawan memiliki produktivitas dan motivasi kerja yang tinggi, maka laju roda pun akan berjalan kencang, yang akhirnya akan menghasilkan kinerja dan pencapaian yang baik bagi perusahaan. Di sisi lain, bagaimana mungkin roda perusahaan berjalan baik, kalau karyawannya bekerja tidak produktif, artinya karyawan tidak memiliki semangat kerja yang tinggi, tidak ulet dalam bekerja dan memiliki moril yang rendah.
Adalah menjadi tugas manajemen agar karyawan memiliki semangat kerja dan moril yang tinggi serta ulet dalam bekerja. Berdasarkan pengalaman dan dari beberapa buku yang pernah saya baca, biasanya karyawan yang puas dengan apa yang diperolehnya dari perusahaan akan memberikan lebih dari apa yang diharapkan dan ia akan terus berusaha memperbaiki kinerjanya. Sebaliknya karyawan yang kepuasan kerjanya rendah, cenderung melihat pekerjaan sebagai hal yang menjemukan dan membosankan, sehingga ia bekerja dengan terpaksa dan asal-asalan. Untuk itu merupakan keharusan bagi perusahaan untuk mengenali faktor-faktor apa saja yang membuat karyawan puas bekerja di perusahaan. Dengan tercapainya kepuasan kerja karyawan, produktivitas pun akan meningkat.
Banyak perusahaan berkeyakinan bahwa pendapatan, gaji atau salary merupakan faktor utama yang mempengaruhi kepuasan karyawan. Sehingga ketika perusahaan merasa sudah memberikan gaji yang cukup, ia merasa bahwa karyawannya sudah puas. Sebenarnya kepuasan kerja karyawan tidak mutlak dipengaruhi oleh gaji semata. Banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan, diantaranya adalah kesesuaian pekerjaan, kebijakan organisasi termasuk kesempatan untuk berkembang, lingkungan kerja dan perilaku atasan.
Untuk lebih meyakini bahwa kesempatan berkembang merupakan faktor utama bagi kepuasan kerja karyawan, kita dapat membandingkan tingkat kepuasan karyawan baru dan karyawan lama di perusahaan. Karyawan baru cenderung mempunyai tingkat kepuasan lebih tinggi dibandingkan karyawan yang masa kerjanya lebih lama. Hal ini dikarenakan, biasanya karyawan baru mendapatkan perhatian lebih dari Manajemen, terutama dari atasannya langsung. Perhatian lebih ini dikarenakan sebagai karyawan baru, tentu pihak manajemen akan menjelaskan tanggung jawab dan tugas mereka. Sehingga terjalin komunikasi antara atasan dan bawahan. Hal ini membuat mereka merasa diperhatikan dan bersemangat untuk bekerja. Bahkan tidak sedikit karyawan baru yang mendapatkan beberapa training untuk menunjang tugasnya di awal masa kerja.
Sementara itu, karyawan lama yang sudah bekerja dalam kurun waktu tertentu, akan merasakan kejenuhan. Mereka menginginkan adanya perubahan dan tantangan baru dalam pekerjaannya. Tantangan ini mencakup baik dari sisi besarnya tanggung jawab atau mungkin jenis pekerjaan. Ketika perusahaan tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk berkembang, hal ini akan membuat mereka demotivasi, malas bekerja dan produktivitasnya turun. Apabila perasaan ini dirasakan oleh sebagian besar karyawan lama, bisa dibayangkan betapa rendahnya tingkat produktivitas perusahaan secara keseluruhan dan bila dibiarkan perusahaan akan merugi.

II. PERMASALAHAN
Salah satu perusahaan rokok terkenal PT. XYZ di Jawa Timur yang sudah beroperasi lebih 80 tahun lamanya telah menciptakan suatu budaya perusahaan yang menjadi visi dan misi perusahaan untuk ke arah produktivitas yang baik.
Namun terjadi demonstrasi di Divisi Transportasi PT. XYZ disebabkan oleh adanya kebijakan manajemen untuk menggunakan jasa transportasi luar perusahaan untuk pengiriman barang-barang ke berbagai daerah. Keputusan manajemen menggunakan jasa angkut pihak luar ini, karena pengiriman barang ke berbagai sering mengalami keterlambatan. Dengan dipakainya jasa transportasi pihak luar ini, maka para sopir dan kernet merasa insentif yang diterimanya akan berkurang. Begitu juga premi perjalanan luar kota, uang lembur maupun kompensasi lainnya akan hilang. Inilah yang memicu para sopir dan kernet berunjuk rasa melakukan demonstrasi terhadap pimpinan perusahaan.

III. TUJUAN
Penulis ingin menganalisa mengapa terjadi kasus demonstrasi para sopir dan kernet PT. XYZ di Jawa Timur terhadap pimpinan perusahaan.

IV. TEORI
Suatu organisasi/Perusahaan terdiri dari input, proses dan outcomes. Input adalah komponen-komponen yang ada di luar lingkungan organisasi antara lain sumber daya manusia dan peraturan pemerintah. Proses meliputi komponen-komponen antara lain motivasi, persepsi, komunikasi, kepemimpinan dan konflik. Sedangkan komponen outcomes antara lain meliputi kinerja individu dan kelompok, serta efektivitas organisasi.
Memahami lebih dalam mengenai salah satu komponen dari organisasi ini , maka kit aperlu memahami bahwa setiap individu sebagai sumber daya ,manusia dalam suatu organisasi/perusahaan memiliki Nilai-nilai kerja (work value), yaitu suatu keyakinan pribadi seorang pekerja tentang hasil apa yang diperkirakan dari pekerjaaannya dan bagaimana seharusnya dia berprilaku dalam bekerja.
Nilai-nilai kerja dibadi 2 yaitu nilai kerja intrinsik (intrinsic work values) dan nilai kerja ekstrinsik (extrinsic work value). George & Jones memberikan perbandingan antara kedua nilai kerja sebagai berikut dalam tabel:
Nilai kerja intrinsik Nilai kerja ekstrinsik
- Kerja yang menarik - Gaji tinggi
- Kerja yang menantang - Keamanan kerja
- Belajar sesuatu yang baru - Keuntungan kerja
- Membuat konstribusi penting - Status pada komunitas yang lebih luas
- Berpotensi tinggi - Kontak sosial
- Tanggung jawab dan otonomi - Waktu dengan keluarga
- Menjadi kreatif - Waktu untuk hobi

dan karena mereka mempunyai nilai nilai kerja, mereka juga memiliki sikap kerja. Sikap menurut Robbins (2001) adalah suatu pernyataan atau pertimbangan evaluatif mengenai obyek, orang, atau peristiwa. Sikap tidak sama dengan nilai, namun keduanya dihubungkan.

Robbins mengetengahkan bahwa riset perilaku organisasi atau perusahaan telah memfokuskan pada tiga jenis sikap yaitu:
1. Kepuasan kerja (job satisfaction)
Merujuk pada sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya.
2. Keterlibatan kerja (job involvement)
Merupakan ukuran derajat sejauh mana seseorang memihak secara
psikologis terhadap pekerjaannya dan menganggap kinerjanya sebagai
ukuran harga diri.
3. Komitmen organisasional (organizational commitment)
Adalah derajat sejauh mana seorang karyawan memihak suatu organisasi \
tertentu dan berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi tersebut

dari ketiga jenis sikap yang menjadi komponen penentuan sikap pegawai, maka terbentuklah suatu sikap puas/tidaknya seseorang terhadap pekerjaannya.

Menurut Robbins (2001) kepuasan kerja didefinisikan sebagai suatu sikap umum seseorang terhadap pekerjaannya. Definisi ini mengandung pengertian yang luas. Dengan kata lain kepuasan kerja merupakan penjumlahan yang rumit dari sejumlah unsur pekerjaan yang terbedakan dan terpisahkan satu sama lain (discrete job elements). Jika mengacu pada George & Jones (2002), kepuasan kerja merupakan kumpulan feelings dan beliefes yang dimiliki orang tentang pekerjaannya. Pengungkapan ketidak puasan pegawai bisa disampaikan dalam 4 cara:
1. Respon Voice (aktif & konstruktif, memberikan saran)
2. Respon Loyalty (pasive: tidak melakukan apapun/constructive:harapan kondisi membaik)
3. Repon neglect (Pasive : tidak mau tau/Destructive:membiarkan kondisi memburuk)
4. Respon Exit (Destructive:karyawan keluar/Active: mencari pekerjaan baru)

V. ANALISIS MASALAH
Dari kerangka pikir diatas, maka menurut saya terjadinya demontrasi disebabkan oleh karena secara nilai ektrinsik dan intrisik para supir merasa tidak memperoleh kepuasan kerja:
Nilai kerja Intrinsik bagi PT”XYZ”
Kerja tidak menarik, Mungkin karena sehari hari hanya menyetir mobil, Kerja kurang menantang,karena sudah terbiasa dengan pekerjaan yang ada jadi tidak adanya tantangan, Tidak belajar suatu yang baru,Tidak membuat kontribusi penting.Karena system sudah berjalan,jadi tinggal menjalankan saja,tanpa harus membuat konsep baru,Tidak menganggap potensi tinggi, karena hanya bisa menyetir, Kurang tanggung jawab dan otonomi,karena gaji dan fasilitas kecil,Kurang kreatif,karena melakukan hal-hal yang monoton setiap hari.
Nilai kerja Ektrinsik bagi PT ‘XYZ”
Gaji tidak tinggi jadi mereka berkerja hanya karena merasa sudah digaji dan enggan bernuat lebih dari pekerjaan mereka, Keamanan Kerja,tidak ada keamanan kerja karena dipakai transportasi luar dari perusahaan, keuntungan kerja,tidak akan adanya keuntungan kerja lagi,karena tidak ada premi perjalanan, uang lembur dan kompensasi yang lain hilang karena adanya transportasi dari luar, status pada komunitas yang lebih luas,Kontak sosial, waktu dengan keluarga, waktu untuk hobi, mungkin memang tidak bisa punya banyak waktu untuk hal tersebut.

Dengan Nilai nilai tersebut diatas maka timbul sikap yang diakibatkan oleh :
1. Job Satisfaction berkurang ,ditandai dengan demonstrasi dengan tuntutan perbaikan fasilitas dan kompensasi yang meningkat
tiap tahun
2. Job Involvement berkurang, karena merasa dianggap tidak mampu sehingga menyentuh ego harga diri mereka
3. Organizational Commitment adalah personal need, mereka lebih mementingkan uang yang bisa masuk ke kantung mereka ketimbang profesionalisme perusahaan secara keseluruhan.
Dan terbentuknya sikap itu membuat mereka memilih untuk mengungkapakan ketidak puasan mereka secara Respon Voice (aktif dan konstruktiv), mereka mengeluarkan suaa dengan cara demontrasi. Intinya mereka tetap mau supaya transportasi tidak diserahkan pada pihak luar tapi tetap dijalankan oleh mereka.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari kasus demonstrasi di perusahaan PT. XYZ Jawa Timur dapat disimpulkan bahwa manajemen perusahaan PT. XYZ di Jawa Timur belum memahami dan mengerti konsep-konsep nilai, sikap dan kepuasan kerja dalam implementasi Perilaku Organisasi atau Perusahaan

Seharusnya sebelum mengambil suatu kebijakan dan keputusan perusahaan terutama untuk merubah kebijakan perusahaan yang sudah lama dan rutin dilakukan, manajemen perusahaan harus memahami dan mempelajari terlebih dahulu konsep-konsep nilai, sikap dan kepuasan kerja.
Komunikasi yang efektive seharusnya diambil oleh perusahaan agar bias didapatkan kesepakatan yang menggembirakan. Beberapa petunjuk bagi pimpinan dalam berkomunikasi dengan anggota :
• Pimpinan harus committed terhadap pentingnya komunikasi
• Tindakan harus sesuai dengan perkataan
• Kommit terhadap komunikasi dua arah
• Penekanan pada komunikasi tatap muka
• Pastikan para karyawan mendapatkan informasi yang benar dan cukup
• Dealing with bad news
• Kebutuhan informasi tidak sama bagi setiap karyawan/kelompok
• Treat komunikasi sebagai suatu proses yang terus berjalan
Karena dalam organisasi, komunikasi memiliki empat fungsi, antaralain :
• Menyediakan informasi yang sesuai dengan kebutuhan anggota organisasi untuk membuat keputusan.
• Sebagai alat untuk memotivasi anggota. Komunikasi dibutuhkan untuk menjelaskan tujuan organisasi, memberikan umpan balik
terhadap pencapaian tujuan dan penguatan terhadap perilaku anggota.
• Sebagai alat untuk mengendalikan perilaku.
• Sebagai media untuk mengungkapkan emosi an

Motivasi dalam teori Maslow

Aktualisasi Teori Motivasi Abraham Maslow Untuk Peningkatan Kinerja

Setelah suatu perusahaan memperoleh tenaga kerja, melatih mereka, dan kemudian memberikan pengupahan yang layak dan adil, tugas pemimpin perusahaan (manajer) belum selesai. Dalam kenyataan, tidak selalu seseorang yang telah digaji cukup akan merasa puas dengan pekerjaannya. Banyak faktor (di samping gaji) yang menyebabkan orang merasa puas atau tidak puas bekerja pada suatu organisasi. Seorang manajer adalah orang yang bekerja dengan bantuan orang lain. Ia tidak menjalankan semua pekerjaan sendirian saja, melainkan mengarahkan orang lain dalam tim untuk melaksanakannya. Jika tugas yang diarahkan tidak dapat dilaksanakan oleh karyawannya, seorang manajer harus mengetahui sebab-sebabnya. Mungkin karyawan yang bersangkutan memang tidak kompeten di bidangnya, tetapi mungkin pula ia tidak mempunyai motivasi untuk bekerja dengan baik.

TEORI ABRAHAM MASLOW TENTANG MOTIVASI

• Terminologi “Motivasi”
Apa itu “motivasi”? Ditinjau dari etimologinya, “motivasi” berasal dari kata Latin motivus atau motum yang berarti menggerakkan atau memindahkan. Dari asal-usul kata ini, Lorens Bagus, dalam Kamus Filsafat, mengartikan motivasi atau motif sebagai dorongan sadar dari suatu tindakan untuk merumuskan kebutuhan-kebutuhan tertentu manusia. Motivasi memainkan peranan penting dalam menilai tindakan manusia, karena pada motif-motif itulah terkandung arti subyektif dari tindakan tertentu bagi orang tertentu.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan motivasi sebagai “usaha-usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendaki atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya”.
Menurut Stephen P. Robbins, motivasi adalah “proses yang ikut menentukan intensitas, arah, dan ketekunan individu dalam usaha mencapai sasaran”. Tiga kata kunci dalam definisi ini adalah intensitas, arah, dan ketekunan (yang mengandaikan berlangsung lama). Intensitas dimaksudkan seberapa keras seseorang berusaha. Agar dapat menghasilkan kinerja yang baik, intensitas (setinggi apa pun) harus mempunyai arah yang menguntungkan organisasi. Dan akhirnya, intensitas dan arah yang telah dimiliki harus diterapkan secara tekun dan berlangsung lama. Inilah ukuran sejauh mana orang dapat mempertahankan usahanya. Individu yang termotivasi akan tetap bertahan dengan pekerjaannya dalam waktu cukup lama untuk mencapai sasaran mereka. Sebaliknya, seseorang yang tidak termotivasi hanya akan memberikan upaya minimum dalam hal bekerja. Konsep motivasi kiranya merupakan sebuah konsep penting dalam studi tentang kinerja individu dalam organisasi. Dengan kata lain, motivasi merupakan salah satu determinan penting bagi kinerja individual di samping variabel determinan lain misalnya kemampuan orang yang bersangkutan dan atau pengalaman kerja sebelumnya.

Teori Motivasi Abraham Maslow: Hirarki Kebutuhan
Maslow mengembangkan teori tentang bagaimana semua motivasi saling berkaitan. Ia menyebut teorinya sebagai “hirarki kebutuhan”. Kebutuhan ini mempunyai tingkat yang berbeda-beda. Ketika satu tingkat kebutuhan terpenuhi atau mendominasi, orang tidak lagi mendapat motivasi dari kebutuhan tersebut. Selanjutnya orang akan berusaha memenuhi kebutuhan tingkat berikutnya. Maslow membagi tingkat kebutuhan manusia menjadi sebagai berikut:
1. Kebutuhan fisiologis: kebutuhan yang dasariah, misalnya rasa lapar, haus, tempat berteduh, seks, tidur, oksigen, dan kebutuhan jasmani lainnya.
2. Kebutuhan akan rasa aman: mencakup antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional.
3. Kebutuhan sosial: mencakup kebutuhan akan rasa memiliki dan dimiliki, kasih sayang, diterima-baik, dan persahabatan.
4. Kebutuhan akan penghargaan: mencakup faktor penghormatan internal seperti harga diri, otonomi, dan prestasi; serta faktor eksternal seperti status, pengakuan, dan perhatian.
5. Kebutuhan akan aktualisasi diri: mencakup hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya.
Maslow menyebut teori Hirarki Kebutuhan-nya sendiri sebagai sintesis atau perpaduan teori yang holistik dinamis. Disebut demikian karena Maslow mendasarkan teorinya dengan mengikuti tradisi fungsional James dan Dewey, yang dipadu dengan unsur-unsur kepercayaan Wertheimer, Goldstein, dan psikologi Gestalt, dan dengan dinamisme Freud, Fromm, Horney, Reich, Jung, dan Adler. Bagaimana identifikasi atas tiap kebutuhan di atas dan dampaknya terhadap motivasi yang mempengaruhi kinerja individu dalam organisasi akan dijelaskan dalam berikutnya.

IDENTIFIKASI HIRARKI KEBUTUHAN DAN APLIKASI MANAJEMEN

Kebutuhan Fisiologis (Identifikasi Kebutuhan Fisiologis)
Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan manusia yang paling mendasar untuk mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhan akan makanan, minuman, tempat tinggal, seks, tidur, istirahat, dan udara. Seseorang yang mengalami kekurangan makanan, harga diri, dan cinta, pertama-tama akan mencari makanan terlebih dahulu. Bagi orang yang berada dalam keadaan lapar berat dan membahayakan, tak ada minat lain kecuali makanan. Bagi masyarakat sejahtera jenis-jenis kebutuhan ini umumnya telah terpenuhi. Ketika kebutuhan dasar ini terpuaskan, dengan segera kebutuhan-kebutuhan lain (yang lebih tinggi tingkatnya) akan muncul dan mendominasi perilaku manusia.

Tak teragukan lagi bahwa kebutuhan fisiologis ini adalah kebutuhan yang paling kuat dan mendesak. Ini berarti bahwa pada diri manusia yang sangat merasa kekurangan segala-galanya dalam kehidupannya, besar sekali kemungkinan bahwa motivasi yang paling besar ialah kebutuhan fisiologis dan bukan yang lain-lainnya. Dengan kata lain, seorang individu yang melarat kehidupannya, mungkin sekali akan selalu termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan ini.

Aplikasi Manajemen
Pertama-tama harus selalu diingat bahwa bagi orang yang sangat kelaparan, tidak ada perhatian lain kecuali makanan. Seorang pemimpin atau manajer jangan berharap terlalu banyak dari karyawan yang kelaparan. Berbeda dari kebutuhan-kebutuhan tingkat berikutnya, kebutuhan pokok ini hanya bisa dipenuhi oleh pemicu kekurangannya. Rasa lapar hanya dapat dipuaskan dengan makanan. Jangan berharap bahwa nasihat dan petuah saleh dapat memuaskannya. Maslow menggambarkan bahwa bagi manusia yang selalu dan sangat kelaparan atau kehausan, utopia dapat dirumuskan sebagai suatu tempat yang penuh makanan dan minuman. Ia cenderung berpikir bahwa seandainya makanannya terjamin sepanjang hidupnya, maka sempurnalah kebahagiaannya. Orang seperti itu hanya hidup untuk makan saja. Untuk memotivasi kinerja karyawan seperti ini, tentu saja makanan solusinya. Tunjangan ekstra untuk konsumsi akan lebih menggerakkan semangat kerja orang seperti ini dibandingkan dengan nasehat tentang integritas individu dalam organisasi.

Elton Mayo dari Harvard Graduate School of Business Administration pada tahun 1923 melakukan penelitian di sebuah pabrik tekstil di Philadelphia. Ia ingin menemukan penyebab terjadinya pergantian tenaga kerja yang terlalu sering di salah satu bagian produksi di mana pekerjaan yang dilakukan lumayan sukar dan monoton. Ia bertolak dari asumsi kelelahan tenaga kerja dan kebutuhan akan waktu istirahat. Maka ia menjadwalkan serangkaian waktu istirahat. Para karyawan diminta bekerja sama dalam menetapkan jadwal. Hasil yang diperoleh cukup fantastis: pergantian karyawan menurun drastis, produktivitas meningkat, dan semangat kerja menjadi lebih baik. Mayo secara tepat menemukan apa yang dibutuhkan karyawan, yakni waktu istirahat dan penghargaan diri karena memberikan kesempatan kepada mereka untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan yang biasanya menjadi monopoli pimpinan perusahaan. Dengan satu panah, Mayo membidik dua burung; dua kebutuhan terpenuhi dalam waktu yang sama.

Kebutuhan Rasa Aman (Identifikasi Kebutuhan Rasa Aman)
Segera setelah kebutuhan dasariah terpuaskan, muncullah apa yang digambarkan Maslow sebagai kebutuhan akan rasa aman atau keselamatan. Kebutuhan ini menampilkan diri dalam kategori kebutuhan akan kemantapan, perlindungan, kebebasan dari rasa takut, cemas dan kekalutan; kebutuhan akan struktur, ketertiban, hukum, batas-batas, dan sebagainya. Kebutuhan ini dapat kita amati pada seorang anak. Biasanya seorang anak membutuhkan suatu dunia atau lingkungan yang dapat diramalkan. Seorang anak menyukai konsistensi dan kerutinan sampai batas-batas tertentu. Jika hal-hal itu tidak ditemukan maka ia akan menjadi cemas dan merasa tidak aman. Orang yang merasa tidak aman memiliki kebutuhan akan keteraturan dan stabilitas serta akan berusaha keras menghindari hal-hal yang bersifat asing dan tidak diharapkan.

Aplikasi Manajemen
Dalam konteks perilaku kinerja individu dalam organisasi, kebutuhan akan rasa aman menampilkan diri dalam perilaku preferensi individu akan dunia kerja yang adem-ayem, aman, tertib, teramalkan, taat-hukum, teratur, dapat diandalkan, dan di mana tidak terjadi hal-hal yang tak disangka-sangka, kacau, kalut, atau berbahaya. Untuk dapat memotivasi karyawannya, seorang manajer harus memahami apa yang menjadi kebutuhan karyawannya. Bila yang mereka butuhkan adalah rasa aman dalam kerja, kinerja mereka akan termotivasi oleh tawaran keamanan. Pemahaman akan tingkat kebutuhan ini juga dapat dipakai untuk menjelaskan mengapa karyawan tertentu tidak suka inovasi baru dan cenderung meneruskan apa yang telah berjalan. Atau dipakai untuk memahami mengapa orang tertentu lebih berani menempuh resiko, sedangkan yang lain tidak.

Dalam organisasi, kita seringkali mendapati perilaku individu yang berusaha mencari batas-batas perilaku yang diperkenankan (permisible behavior). Ia menginginkan kebebasan dalam batas tertentu daripada kebebasan yang tanpa batas. Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang batas-batas perilaku yang diterima bagi dirinya sendiri dapat mempunyai perasaan terancam. Agaknya ia akan berupaya untuk menemukan batas-batas seperti itu, sekalipun pada saat-saat tertentu, ia harus berperilaku dengan cara-cara yang tidak dapat diterima. Para manajer dapat mengakomodasi kebutuhan akan rasa aman dalam organisasi dengan jalan membentuk dan memaksakan standar-standar perilaku yang jelas. Penting dicatat juga bahwa perasaan manusia tentang keamanan juga terancam apabila ia merasa tergantung pada pihak lain. Ia merasa bahwa ia akan kehilangan kepastian bila tanpa sengaja melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki. Individu yang berada dalam hubungan dependen seperti itu akan merasa bahwa kebutuhan terbesarnya adalah jaminan dan proteksi. Hampir setiap individu dalam tingkat kebutuhan ini akan menginginkan ketenteraman, supervisi, dan peluang kerja yang bersinambung.
Dewasa ini marak wacana adanya kemungkinan para karyawan di-PHK karena faktor teknologi yang berkembang. Dalam situasi ini, manajer dapat memotivasi karyawan dengan jalan memberikan suatu jaminan kepastian jabatan (job-security-pledge).

Kebutuhan Sosial ( indentifikasi kebutuhan social )
Setelah terpuaskan kebutuhan akan rasa aman, maka kebutuhan sosial yang mencakup kebutuhan akan rasa memiliki-dimiliki, saling percaya, cinta, dan kasih sayang akan menjadi motivator penting bagi perilaku. Pada tingkat kebutuhan ini, dan belum pernah sebelumnya, orang akan sangat merasakan tiadanya sahabat, kekasih, isteri, suami, atau anak-anak. Ia haus akan relasi yang penuh arti dan penuh kasih dengan orang lain pada umumnya. Ia membutuhkan terutama tempat (peranan) di tengah kelompok atau lingkungannya, dan akan berusaha keras untuk mencapai dan mempertahankannya. Orang di posisi kebutuhan ini bahkan mungkin telah lupa bahwa tatkala masih memuaskan kebutuhan akan makanan, ia pernah meremehkan cinta sebagai hal yang tidak nyata, tidak perlu, dan tidak penting. Sekarang ia akan sangat merasakan perihnya rasa kesepian itu, pengucilan sosial, penolakan, tiadanya keramahan, dan keadaan yang tak menentu.

Aplikasi Manajemen
Individu dalam organisasi menginginkan dirinya tergolong pada kelompok tertentu. Ia ingin berasosiasi dengan rekan lain, diterima, berbagi, dan menerima sikap persahabatan dan afeksi. Walaupun banyak manajer dewasa ini memahami adanya kebutuhan demikian, kadang mereka secara keliru menganggapnya sebagai ancaman bagi organisasi mereka sehingga tindakan-tindakan mereka disesuaikan dengan pandangan demikian. Organisasi atau perusahaan yang terlalu tajam dan jelas membedakan posisi pimpinan dan bawahan seringkali mengabaikan kebutuhan karyawan akan rasa memiliki (sense of belonging). Seharusnya karyawan pada level kebutuhan ini dimotivasi untuk memiliki rasa memiliki atas misi dan visi organisasi dan menyatukan ambisi personal dengan ambisi organisasi. Antara pengembangan pribadi dan organisasi mempunyai hubungan resiprok yang hasilnya dirasakan secara timbal balik.

Dalam ranah Perilaku Organisasi, kita kenal apa yang disebut manajemen konflik. Berbeda dari pandangan tradisional yang melihat konflik secara negatif, terdapat pandangan interaksionis yang melihat konflik tidak hanya sebagai kekuatan positif dalam kelompok namun juga sangat diperlukan agar kelompok berkinerja efektif. Konflik bisa baik atau buruk tergantung pada tipenya. Tanpa bermaksud menolak atau mendukung salah satu pandangan, dapat dikatakan bahwa potensi konflik dalam organisasi selain mengganggu rasa aman juga dapat menciptakan alienasi yang mengakibatkan disorientasi. Potensi mobilitas yang berlebihan yang umumnya dipaksakan oleh industrialisasi mengancam tercabutnya rasa kerasan dalam kelompok kerja, tantangan untuk adaptasi dalam kelompok baru dan asing, dan akhirnya menimbulkan kebutuhan akan rasa memiliki dan aneka kebutuhan yang masuk dalam hirarki tahap ini.

Kebutuhan akan Penghargaan (Identifikasi Kebutuhan akan Penghargaan )
Menurut Maslow, semua orang dalam masyarakat (kecuali beberapa kasus yang patologis) mempunyai kebutuhan atau menginginkan penilaian terhadap dirinya yang mantap, mempunyai dasar yang kuat, dan biasanya bermutu tinggi, akan rasa hormat diri atau harga diri. Karenanya, Maslow membedakan kebutuhan ini menjadi kebutuhan akan penghargaan secara internal dan eksternal. Yang pertama (internal) mencakup kebutuhan akan harga diri, kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan, dan kebebasan (kemerdekaan). Yang kedua (eksternal) menyangkut penghargaan dari orang lain, prestise, pengakuan, penerimaan, ketenaran, martabat, perhatian, kedudukan, apresiasi atau nama baik. Orang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri. Dengan demikian ia akan lebih berpotensi dan produktif. Sebaliknya harga diri yang kurang akan menyebabkan rasa rendah diri, rasa tidak berdaya, bahkan rasa putus asa serta perilaku yang neurotik. Kebebasan atau kemerdekaan pada tingkat kebutuhan ini adalah kebutuhan akan rasa ketidakterikatan oleh hal-hal yang menghambat perwujudan diri. Kebutuhan ini tidak bisa ditukar dengan sebungkus nasi goreng atau sejumlah uang karena kebutuhan akan hal-hal itu telah terpuaskan.

Aplikasi Manajemen
Tidak jarang ditemukan pekerja di level manajerial memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ada apa gerangan? Apakah kompensasi gajinya tidak memuaskannya? Ternyata tidak selamanya uang dapat memotivasi perilaku individu dalam organisasi. Dari semua indikasi yang terdata, tampaknya organisasi yang menyandarkan peningkatan kinerja karyawan mereka pada aspek finansial, tidak memperoleh hasil yang diharapkan. Benar bahwa uang adalah salah satu alat motivasi yang kuat, tetapi penggunaannya harus disesuaikan dengan persepsi nilai setiap karyawan. Individu tertentu pada saat dan kondisi tertentu barangkali tidak lagi merasakan uang sebagai penggerak kinerja.

Ketimbang uang, individu pada level ini lebih membutuhkan tantangan yang dapat mengeksplorasi potensi dan bakat yang dimilikinya. Tidak mengherankan bahwa sejumlah top manajer tiba-tiba mengundurkan diri ketika merasa tidak ada lagi tantangan dalam perusahaan tempat mereka bekerja. Keinginan atau hasrat kompetitif untuk menonjol atau melampaui orang lain boleh dikatakan sebagai sifat universal manusia. Kebutuhan akan penghargaan ini jika dikelola dengan tepat dapat menimbulkan kinerja organisasi yang luar biasa. Tidak seperti halnya kebutuhan-kebutuhan di tingkat lebih rendah, kebutuhan akan penghargaan ini jarang sekali terpenuhi secara sempurna.

Sebagai bagian dari sebuah pendekatan yang lebih konstruktif, manajemen partisipatif dan program-program umpan balik positif (positive feedback programs) dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan. Pendelegasian otonomi dan tanggung jawab yang lebih luas kepada karyawan telah terbukti efektif untuk memotivasi kinerja dan performa yang lebih baik. Keberhasilan eksperimen Mayo seperti telah diuraikan sebelumnya menunjukkan bahwa penghargaan finansial terbukti tidak selamanya seefektif penghargaan psikis. Masalahnya, banyak manajer seringkali lupa atau berpikir banyak kali untuk memberikan pujian dan pengakuan tulus bagi prestasi karyawan, dan sebaliknya tanpa pikir dua kali untuk melemparkan kritik atas pekerjaan buruk bawahannya.

Pakar kepemimpinan, William Cohen, mengatakan bahwa jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan yang baik untuk memberikan pengakuan kepada prestasi kerja dalam organisasi. Pengakuan merupakan salah satu motivator manusia yang paling kuat. Psikolog terkenal, B.F. Skinner menambahkan bahwa untuk mendapat motivasi maksimum, orang harus memuji secepat mungkin setelah tampak perilaku yang pantas mendapat pujian. Bahkan Napoleon Bonaparte terkejut menyaksikan kekuatan pengakuan sebagai motivator. Setelah tahu bahwa para prajuritnya bersedia melakukan apa saja untuk mendapatkan medali yang diberikannya, Napoleon berseru: “Sungguh menakjubkan apa yang akan dilakukan orang untuk barang sepele seperti itu.”

Kebutuhan akan Aktualisasi Diri (Identifikasi Kebutuhan Aktualisasi Diri )
Menurut Maslow, setiap orang harus berkembang sepenuh kemampuannya. Kebutuhan manusia untuk bertumbuh, berkembang, dan menggunakan kemampuannya disebut Maslow sebagai aktualisasi diri. Maslow juga menyebut aktualisasi diri sebagai hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuan sendiri, menjadi apa menurut kemampuan yang dimiliki. Kebutuhan akan aktualisasi diri ini biasanya muncul setelah kebutuhan akan cinta dan akan penghargaan terpuaskan secara memadai.

Kebutuhan akan aktualisasi diri ini merupakan aspek terpenting dalam teori motivasi Maslow. Dewasa ini bahkan sejumlah pemikir menjadikan kebutuhan ini sebagai titik tolak prioritas untuk membina manusia berkepribadian unggul. Belakangan ini muncul gagasan tentang perlunya jembatan antara kemampuan majanerial secara ekonomis dengan kedalaman spiritual. Manajer yang diharapkan adalah pemimpin yang handal tanpa melupakan sisi kerohanian. Dalam konteks ini, piramida kebutuhan Maslow yang berangkat dari titik tolak kebutuhan fisiologis hingga aktualisasi diri diputarbalikkan. Dengan demikian perilaku organisme yang diharapkan bukanlah perilaku yang rakus dan terus-menerus mengejar pemuasan kebutuhan, melainkan perilaku yang lebih suka memahami daripada dipahami, memberi daripada menerima. Dalam makalah ini, gagasan aktualisasi diri akan mendapat sorotan lebih luas dan dalam sebelum masuk dalam pembahasan penerapan teori.

Ciri-ciri Pribadi Aktualisasi Diri
Dari hasil penelitian yang merupakan proses analisis panjang, Maslow akhirnya mengidentifikasikan 19 karakteristik pribadi yang sampai pada tingkat aktualisasi diri.
1. Persepsi yang jelas tentang hidup (realitas), termasuk kemampuan untuk mendeteksi kepalsuan dan menilai karakter seseorang dengan baik. Berkat persepsi yang tajam, mereka lebih tegas dan jitu dalam memprediksikan peristiwa yang bakal terjadi. Mereka lebih mampu melihat dan menembus realitas-realitas yang tersembunyi dalam aneka peristiwa; lebih peka melihat hikmah dari pelbagai masalah.
2. Pribadi demikian melihat hidup apa adanya dan bukan berdasarkan keinginan mereka. Mereka lebih obyektif dan tidak emosional. Orang yang teraktualisasi diri tidak akan membiarkan harapan-harapan dan hasrat-hasrat pribadi menyesatkan pengamatan mereka. Sebaliknya kebanyakan orang lain mungkin hanya mau mendengarkan apa yang ingin mereka dengar dari orang lain sekalipun menyangkut hal yang tidak benar dan jujur.
3. Mempunyai spontanitas yang lebih tinggi. Mereka lebih peka terhadap inner life yang kaya dan tidak konvensional, serta memiliki kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang baru dan menghargai keindahan dalam hal-hal yang biasa. Biasanya mereka tidak merasa perlu menyembunyikan perasaan atau pikiran mereka, atau bertingkah laku yang dibuat-buat. Pribadi teraktualisai punya selera yang tinggi terhadap seni, musik, dan masalah-masalah politik dan filsafat.
4. Keterpusatan-pada-masalah. Mereka amat konsisten dan menaruh perhatian pada pertanyaan dan tantangan dari luar diri, memiliki misi atau tujuan yang jelas sehingga menghasilkan integritas, ketidakpicikan, dan tekun introspeksi. Mereka mempunyai komitmen yang jelas pada tugas yang harus mereka kerjakan dan mampu melupakan diri sendiri, dalam arti mampu membaktikan diri pada pekerjaan, tugas, atau panggilan yang mereka anggap penting.
5. Merindukan kesunyian. Selain mencari kesunyian yang menghasilkan ketenteraman batin, mereka juga dapat menikmatinya.
6. Mereka sangat mandiri dan otonom, namun sekaligus menyukai orang lain. Mereka punya keinginan yang sehat akan keleluasaan pribadi yang berbeda dari kebebasan neurotik (yang serba rahasia dan penuh rasa takut). Terkadang mereka terlihat sangat otonom, karena mereka menggantungkan diri sepenuhnya pada kapasitas sendiri. Inilah paradoksnya: mereka adalah orang yang paling individualis sekaligus sosial dalam masyarakat. Bila mereka menaati suatu aturan atau perintah, hal itu didasarkan pada pemahaman akan manfaat yang dapat dicapai dari pemenuhan aturan yang bersangkutan, dan bukan karena ikut-ikutan.
7. Ada kalanya mereka mengalami apa yang disebut “pengalaman puncak” (peak experience); saat-saat ketika mereka merasa berada dalam keadaan terbaik, saat diliputi perasaan khidmat, kebahagiaan dan kegembiraan yang mendalam atau ekstase. Hal ini berkaitan dengan kemampuan mereka untuk berkonsentrasi secara luar biasa. Kadang-kadang kemampuan ini membuat mereka seolah linglung. Tidak jarang mereka mengalami flow dalam kegiatan yang mereka lakukan.
8. Rasa kekeluargaan terhadap sesama manusia yang disertai dengan semangat yang tulus untuk membantu sesama.
9. Pribadi unggul ini lebih rendah hati dan menaruh hormat pada orang lain. Mereka yakin bahwa dalam banyak hal mereka harus belajar dari orang lain. Hal ini membuat mereka mampu untuk mendengarkan orang lain dengan penuh kesabaran. Keutamaan (virtue) ini lahir dari pemahaman yang lebih dalam tentang diri sendiri. Sama seperti anak-anak, mereka mampu mendengarkan orang lain tanpa apriori atau penilaian sebelumnya. Maslow menyebut keunggulan ini sebagai “Being cognition” atau “B-cognition”; pengamatan yang pasif dan reseptif.
10. Mereka memiliki etika yang jelas tentang apa yang baik dan apa yang jahat. Namun bagi mereka, pertentangan antara yang baik dan yang buruk tidaklah menjadi masalah. Secara konsisten, mereka akan memilih dan lebih menyukai nilai-nilai yang lebih luhur.
11. Selera humor yang baik. Mereka tidak tertarik pada pelbagai lelucon yang melukai atau menyiratkan inferioritas yang membuat orang lain merasa dilecehkan. Mereka lebih menyukai humor yang filosofis, kosmik, atau yang nilai humornya terkandung dalam logika kata-kata. Mereka juga menonjol dalam hal toleransi terhadap kelemahan-kelemahan alamiah orang lain. Namun mereka sangat anti terhadap ketidakjujuran, penipuan, kebohongan, kekejaman, dan kemunafikan.
12. Kreatif dalam mengucapkan, melakukan, dan menyelesaikan sesuatu. Sifat ini dikaitkan dengan fleksibelitas, tidak takut membuat sesuatu yang di kemudian hari ternyata adalah kesalahan, dan keterbukaan. Seperti seorang anak yang lugu, mereka tidak takut berkreasi karena cemoohan orang lain. Mereka kreatif dan melihat aneka peristiwa secara segar tanpa prasangka. Menurut Maslow, hampir setiap anak mampu membuat lagu, sajak, tarian, lakon, atau permainan secara mendadak, tanpa direncanakan atau didahului oleh maksud tertentu sebelumnya. Demikian jugalah kira-kira kreativitas orang yang teraktualisasi diri.
13. Mereka memiliki penghargaan yang sehat atas diri sendiri bertolak dari pengenalan akan potensi diri mereka sendiri. Mereka bisa menerima pujian dan penghargaan tetapi tidak sampai tergantung pada penghargaan yang diberikan orang lain. Mereka tidak mendewakan kemasyhuran dan ketenaran kosong.
14. Ketidaksempurnaan. Mereka tentu juga mempunyai perasaan bersalah, cemas, bersalah, iri dan lain-lain. Namun perasaan itu tidak seperti yang dialami orang-orang yang neurotis. Mereka lebih dekat dengan cara pikir positif. Mereka tidak selalu tenang, kadang-kadang bisa meledakkan amarah pula; bosan dengan obrolan basa-basi , omong-kosong, dan hiruk-pikuk suasana pesta.
15. Mereka mempunyai “hirarki nilai” yang jelas. Mereka mampu melihat dan membedakan mana yang lebih penting dan harus diprioritaskan dalam situasi tertentu. Kadar konflik dirinya rendah. Mereka memiliki lebih banyak energi untuk tujuan-tujuan yang produktif daripada menghabiskan waktu untuk menyesali diri dan keadaan. Bagi mereka, pertentangan antara yang baik dan yang buruk tidaklah menjadi masalah. Secara konsisten, mereka akan memilih dan lebih menyukai nilai-nilai yang lebih luhur, dan dengan tulus mengikutinya. Bagi orang-orang ini, disiplin diri relatif mudah sebab apa yang ingin mereka lakukan sejalan dengan apa yang mereka yakini benar. Nilai-nilai mereka didasarkan pada apa yang nyata bagi mereka, bukan pada apa yang dikatakan orang lain kepada mereka.
16. Resistensi terhadap inkulturisasi. Mereka mampu melihat hal-hal di luar batasan kebudayaan dan zaman. Maslow menyebut mereka mempunyai apa yang disebut “kemerdekaan psikologis”. Hal itu tercermin dari keputusan-keputusan mereka yang terkadang “melawan arus” pendapat khalayak ramai. Mereka tidak segan menolak kebudayaan mereka jika memang tidak sejalan dengan akal sehat. Untuk hal-hal kecil seperti sopan-santun, bahasa, dan pakaian, makanan, dan sebagainya tidak dipermasalahkan. Tapi bila menyangkut hal-hal yang dirasa melawan prinsip-prinsip dasar, mereka dapat bersikap bebas mandiri dan bertindak di luar kebiasaan.
17. Mereka cenderung mencari persahabatan dengan orang yang memiliki karakter yang sama, seperti jujur, tulus hati, baik hati dan berani, namun tidak menghiraukan ciri-ciri superfisial seperti kelas sosial, agama, latar belakang ras, dan penampilan. Dalam hal ini mereka tidak merasa terganggu oleh perbedaan-perbedaan. Makin matang kepribadiannya, mereka makin tidak peduli dengan penampilan ayu, tubuh tegap, badan montok, dan sebagainya. Sebaliknya mereka amat menjunjung tinggi soal kecocokan, kebaikan, ketulusan, dan kejujuran.
18. Secara umum dapat dikatakan bahwa orang yang teraktualisasi diri cenderung membina hidup perkawinan yang kokoh, bahagia, dan berlangsung seumur hidup. Dalam pribadi yang sehat, perkawinan yang terbina memungkinkan kedua belah pihak saling meningkatkan kepercayaan dan harga diri, saling memberikan manfaat.
19. Mereka itu sangat filosofis dan sabar dalam menuntut atau menerima perubahan yang perlu secara tertib. Sementara kebanyakan orang dalam masyarakat cenderung bersikap sangat praktis atau sangat teoritis, orang yang teraktualisasi diri lebih condong bersikap praktis sekaligus teoritis tergantung kondisi yang bersangkutan. Mereka berusaha mencintai dunia apa adanya, dengan tetap membuka mata pada kekurangan yang ada seraya berupaya memperbaikinya.
Aplikasi Manajemen
Pada tingkat puncak hirarki kebutuhan ini, tidak banyak yang dapat dikatakan tentang bagaimana cara memotivasi individu pada level ini. Bagi orang-orang yang dikatakan telah mencapai kematangan psikologis ini, disiplin diri relatif mudah sebab apa yang ingin mereka lakukan sejalan dengan apa yang mereka yakini benar. Nilai-nilai dan tindakan mereka didasarkan pada apa yang nyata bagi mereka, bukan pada apa yang dikatakan orang lain kepada mereka. Bila pada level kebutuhan sebelumnya, individu biasa dimotivasi oleh kekurangan, orang yang matang ini terutama dimotivasi oleh kebutuhannya untuk mengembangkan serta mengaktualisasikan kemampuan-kemampuan dan kapasitas-kapasitasnya secara penuh. Bahkan menurut Maslow, istilah motivasi kurang tepat lagi untuk diterapkan pada kebanyakan orang yang berada di tahap aktualisasi diri. Mereka itu amat spontan, bersikap wajar, dan apa yang mereka lakukan adalah sekedar untuk mewujudkan diri; sekedar pemenuhan hidup sebagai manusia. Seperti kata Luijpen: Being man is having to be man.
Perilaku organisasi
Perilaki Organisasi adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana seharusnya perilaku tingkat individu, tingkat kelompok, serta dampaknya terhadap kinerja (baik kinerja individual, kelompok, maupun organisasi).
Perilaku organisasi juga dikenal sebagai Studi tentang organisasi. Studi ini adalah sebuah bidang telaah akademik khusus yang mempelajari organisasi, dengan memanfaatkan metode-metode dari ekonomi, sosiologi, ilmu politik, antropologi dan psikologi. Disiplin-disiplin lain yang terkait dengan studi ini adalah studi tentang Sumber daya manusia dan psikologi industri serta perilaku organisasi.
Sumber daya manusia adalah salah satu faktor penting dalam suatu perusahaan, organisasi atau lembaga untuk menjalankan segala kegiatan. Agar proses kegiatan ini berjalan sesuai dengan keinginan perusahaan, maka dibutuhkan pegawai pegawai yang memiliki kemampuan dan kemauan yang tinggi.
Stephen P Robbin (1996:198) mendefinisikan motivasi : kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi ke arah tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi sesuatu kebutuhan individual”.
Definisi tersebut memiliki tiga unsur kunci, yaitu upaya/effort, tujuan organisasi/organizational goals, dan kebutuhan/need. Unsur effort, merupakan ukuran intensitas, bila seseorang termotivasi, maka ia akan mencoba sekuat tenaga untuk mendapatkan apa yang dinginkannya. Upaya yang tinggi dan pekerjaan disalurkan pada arah yang benar dan bermanfaat akan membawa pada hasil kierja yang tinggi dan menguntungkan bagi perusahaan.dengan mempertimbangkan kualitas dan upaya(effort) maupun intensitasnya, dan konsisten dengan arah dan tujuan organisasi (organizational goals) maka motivasi menjadi sangat penting posisinya sebagai sebuah proses pemenuhan kebutuhan[1].
Sedangkan kebutuhan (needs) adalah suatu keadaan internal yang menyebabkan hasil hasil tertentu tampak menarik. Suatu kebutuhan yang tak terpuaskan akan menciptakan tegangan tegangan yang merangsang dorongan didalam diri tiap individu. Dorongan ini menimbulkan suatu prilaku pencarian untuk menemukan tujuan tujuan tertentu yang jika tercapai kebutuhan tersebut, maka akan terjadi pengurangan tegangan.
Pegawai yang termotivasi berada dalam kondisi tegang,untuk mengendurkan tegangan ini,mereka mengeluarkan upaya. Makin besar tegangan, makin tinggi tingkat upaya itu.jika upaya ini berhasil menghantar pada pemenuhan kebutuhan tersebut, maka tegangan akan dikurangi. Karena proses motivasi ini kepentingannya dengan prilaku kerja, maka pengurangan tegangan harus diarahkan pada tujuan tujuan organisasi dan motivasi menjadi persyaratan bahwa kebutuhan individu itu sesuai (compatible) dan konsisten dengan tujuan organisasi.
Motivasi seorang pegawai untuk bekerja biasanya didasarkan pada kebutuhan yang berbeda. Sesuai dengan tingkat pendidikan dan kondisi ekonominya. Orang yang semakin terdidik dan semakin independen secara ekonomi, maka sumber motivasinya akan berbeda. Tidak hanya didasarkan pada formal authority and financial incentives , ada faktor lain seperti kebutuhan untuk berkembang (growth and achievment).
Motivasi juga dipengaruhi oleh faktor faktor lain:
• faktor individual, terdiri dari kebutuhan kebutuhan (needs), tujuan tujuan (goals), sikap (attitude), dan kemampuan (ability)
• faktor organisasional, sementara faktor organisasional meliputi: pembayaran gaji (pay), kemananan pekerjaan (job security), hubungan sesama pekerja (co-workers),pengawasan (supervision),pujian (praise) dan pekerjaan itu sendiri (job it self)
terdapat 4 aturan kinerja dalam suatu bisnis:
1. Produktivitas yang efektif dan efisien, yakni minimal biaya dengan tepat guna atau sasaran.
2. Absensi, yakni rasio antara jumlah jam kerja dengan jam kerja seharusnya.
3. Kepuasan kerja
4. Tingkat perputaran tenaga kerja (Labor turn over), yakni perbandingan antara jumlah karyawan yang masuk dan yang keluar dibagi jumlah tenaga kerja.
SUMBER :
• http://lilisulastri.wordpress.com/2009/05/24/perilaku-organisasi-10/
• http://id.wikipedia.org/wiki/Perilaku_organisasi
• http://prohumancapital.blogspot.com/2008/07/aktualisasi-teori-motivasi-abraham.html

Jumat, 06 November 2009

Motivasi, Drive Reinforcement, Teori Harapan

Nama kelompok :
• Putri Sri Dewi (10507313)
• Evita Dewi A (10507079)
• Uli M.Z (10507317)
• Restyka (10507200)

Pengertian Motivasi

Perkataan motivasi adalah berasal daripada perkataan Bahasa Inggeris “MOTIVATION“. Perkataan asalnya ialah “MOTIVE” yang juga telah dipinjam oleh Bahasa Melayu / Bahasa Malaysia kepada motif, yakni bermaksud tujuan. Di dalam surat khabar, kerap pemberita menulis ayat “motif pembunuhan”. Perkataan motif di sini boleh kita fahami sebagai sebab atau tujuan yang mendorong sesuatu pembunuhan itu dilakukan.

Pengertian motivasi menurut Para ahli
• Motivasi adalah dorongan psikologis yang mengarahkan seseorang ke arah suatu tujuan. Motivasi membuat keadaan dalam diri individu muncul, terarah, dan mempertahankan perilaku,
• Motivasi adalah daya pendorong dari keinginan kita agar terwujud. Motivasi adalah sebuah energi pendorong yang berasal dari dalam kita sendiri.
• Motivasi adalah daya pendorong dari keinginan kita agar terwujud. Energi pendorong dari dalam agar apapun yang kita inginkan dapat terwujud. Motivasi erat sekali hubungannya dengan keinginan dan ambisi, bila salah satunya tidak ada, motivasi pun tidak akan timbul.
• menurut Kartini Kartono motivasi menjadi dorongan (driving force) terhadap seseorang agar mau melaksanakan sesuatu.
• Menurut Wexley & Yukl (dalam As’ad, 1987) motivasi adalah pemberian atau penimbulan motif, dapat pula diartikan hal atau keadaan menjadi motif.
• Sedangkan menurut Mitchell (dalam Winardi, 2002) motivasi mewakili proses- proses psikologikal, yang menyebabkan timbulnya, diarahkanya, dan terjadinya persistensi kegiatan- kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan ke tujuan tertentu.

Oleh itu kita dapat definisikan bahwa:
Motivasi adalah sesuatu yang menggerak dan mengarahkan terhadap tujuan seseorang dalam tindakan-tindakannya sama ada secara negatif atau positif. Motivasi adalah merupakan sejumlah proses- proses psikologikal, yang menyebabkan timbulnya, diarahkanya, dan terjadinya persistensi kegiatan- kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan ke tujuan tertentu, baik yang bersifat internal, atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi.
Motivasi yang ada pada setiap orang tidaklah sama, berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Untuk itu, diperlukan pengetahuan mengenai pengertian dan hakikat motivasi, serta kemampuan teknik menciptakan situasi sehingga menimbulkan motivasi/dorongan bagi mereka untuk berbuat atau berperilaku sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh individu lain/ organisasi.

Teori Drive – Reinforcement
Teori ”drive” bisa diuraikan sebagai teori-teori dorongan tentang motivasi, perilaku didorong ke arah tujuan oleh keadaan-keadaan yang mendorong dalam diri seseorang atau binatang. Contohnya., Freud ( 1940-1949 ) berdasarkan ide-idenya tentang kepribadian pada bawaan, dalam kelahiran, dorongan seksual dan agresif, atau drive (teorinya akan diterangkan secara lebih detail dalam bab kepribadian). Secara umum , teori-teori drive mengatakan hal-hal berikut : ketika suatu keadaan dorongan internal muncul, individu di dorong untuk mengaturnya dalam perilaku yang akan mengarah ke tujuan yang mengurangi intensitas keadaan yang mendorong. Pada manusia dapat mencapai tujuan yang memadai yang mengurangi keadaan dorongan apabila dapat menyenangkan dan memuaskan. Jadi motivasi dapat dikatakan terdiri dari:
1. Suatu keadaan yang mendorong
2. Perilaku yang mengarah ke tujuan yang diilhami oleh keadaan terdorong
3. Pencapaian tujuan yang memadai
4. Pengurangan dan kepusaan subjektif dan kelegaan ke tingkat tujuan yang tercapai
Setelah keadaan itu, keadaan terdorong akan muncul lagi untuk mendorong perilaku ke arah tujuan yang sesuai. Pengulangan kejadian yang baru saja diuraikan seringkali disebut lingkaran korelasi.
Teori-teori Drive berbeda dalam sumber dari keadaan terdorong yang memaksa manusia atau binatang bertindak. Be berapa teori, termasuk teori Freud, dipahami oleh keadaan terdorong sejak belum lahir, atau instingtif. Tentang perilaku binatang, khususnya ahli ethologi telah mengusulkan suatu penjelasan suatu mekanisme dorongan sejak kelahiran (tinbergen, lorenz, dan leyhausen dalam morgan, dkk. 1986). Teori-teori drive yang lain telah mengembangkan peran belajar dalamkeaslian keadaan terdorong. Contohnya, dorongan yang di pelajari (learned drives), seperti mereka sebut, keaslian dalam latihan seseorang atau binatang atau pengalaman masa lalu dan yang berbeda dari satu individu ke individu yang lain. Karena penggunaan minuman keras sebelumnya, ketagihan heroin, contohnya mengembangkan suatu dorongan untuk mendapatkan hal tersebut, dan karena itu mendorong ke arah itu. Dan dalam realisasi motif sosial, orang telah belajar dorongan untuk kekuasaan, agresi atau prestasi. Keadaan terdorong yang dipelajari menjadi ciri abadi dari orag tertentu dan mendorong orang itu ke arah tujuan yang memadai, orang lain mungkin belajar motif sosial yang lain dan didorong ke arah tujuan yang berbeda.

2. Teori Pengukuhan (Reinforcement Theory)
Teori ini mempunyai dua aturan pokok : aturan pokok yang berhubungan dengan perolehan jawaban –jawaban yang benar dan aturan pokok lain yang berhubungan dengan penghilangan jawaban-jawaban yang salah. Pengukuran dapat terjadi positif (pemberian ganjaran untuk satu jawaban yang didinginkan ) atau negatif ( menghilangkan satu rangsang aversif jika jawaban yang didinginkan telah diberikan ), tetapi organisme harus membuat antara akasi atau tindakannya dengan sebab akibat.
Siegel dan Lane (1982), mengutip Jablonke dan De Vries tentang bagaimana manajemen dapat meningkatakan motivasi tenaga kerja., yaitu dengan:
1. Menentukan apa jawaban yang diinginkan
2. Mengkomunikasikan dengan jelas perilaku ini kepada tenaga kerja.
3. Mengkomunikasikan dengan jelas ganjaran apa yang akan diterima. Tenaga kerja jika jawaban yang benar terjadi
4. Memberikan ganjaran hanya jika jika jawaban yang benar dilaksanakan.
5. Memberikan ganjaran kepada jawaban yang diinginkan, yang terdekat dengan kejadiannya.

individu lainnya akan menggerakkan orang untuk bekerja lebih baik. Ada 3 kategori kebutuhan menurut David McClelland, yakni :
• Kebutuhan akan berprestasi (Needs for Achievement→nAch)
Kecenderungan termotivasi dengan situasi yang penuh tantangan dan persaingan.
• Kebutuhan akan berafiliasi (Needss for Affiliation→nAff)
Keinginan untuk bersahabat, lebih mementingkan aspek-aspek antarpribadi dalam interaksi, lebih senang bekerja sama, senang bergaul, dan berusaha mendapatkan legitimasi dari orang lain.
• Kebutuhan akan kekuasaan (Needss for Power→nPow)
Mencoba menguasai orang lain dengan cara mengatur perilakunya dan membuat orang lain terkesan kepada dirinya.
Process Theory
Teori ini melakukan pencermatan kepada suatu upaya bagaimana perilaku seorang orang dibangkitkan, diarahkan dan dipertahankan. Teori ini menekankan pada pertanyaan “mengapa” seorang termotivasi. Termasuk ketegori teori motivasi proses antara lain :
1. Teori harapan→Expectancy Theory
Diciptakan oleh V.H. Vroom. Bila seorang memiliki kepercayaan bahwa di masa yang akan datang akan memiliki peluang/harapan maka akan menjadi energi yang menggerakkan semangat. Teori ini didasarkan atas :
• Harapan (expectancy)
Yaitu peluang subyektif seorang orang yang usahanya akan dapat diwujudkan dan percaya bahwa usaha yang dilakukan akan berpengaruh terhadap perilaku kerjanya, misalnya dalam bentuk kontrak prestasi, dapat gaji, penghasilannya semakin naik. Derajad kepercayaan secara kuantittif dinyatakan antara “0” hingga “1”
• Valensi (valence)
Berkaitan dengan daya tarik (attactiveness), adalah hasil yang diantisipasi seorang orang. Jika seorang merasa tertarik terhadap pekerjaan tertentu maka akan dikuantifikasikan dengan nilai “+1” sebaliknya jika tidak tertarik akan diberikan nilai”-1”.
• Pertautan (instrumentality)
Yaitu kepercyaan seorang orang bahwa tingkat kinerja tertentu akan memberikan hasil yang tertentu pula. Mempunyai nilai antara “0” hingga “-1”.
2. Teori Keadilan→Equity Theory
Keadilan merupakan daya penggerak yang mampu memotivasi semangat kerja. Jika seorang orang menerima perlakuan tidak adil (inequity) maka akan membawa akibat :
a. Timbulnya tekanan dalam individu (strees)
b.Jumlah tekanan akan sama dengan besarnya (magnitude) dari equity.
c. Tekanan akan mengurangi motivasi.
Strategi yang dikembangkan untuk mengurangi inequity diantaranya adalah :
a. Mengubah input misalnya mengurangi usaha yang dilakukan
b. Mengubah out put misalnya meminta kenaikan upah
c. Menarik diri atau meninggalkan
3. Teori Penguatan→Reinforcement Theory
Teori ini didasarkan atas hubungan sebab akibat dari perilaku dengan pemberian kompensasi. Teori ini terdiri dari dua jenis, yakni :
a. Penguatan positif (Positve Reinforcement) yaitu bertambahnya frekuensi perilaku, terjadi jika pengaruh positif diterapkan secara bersyarat.
b. Penguatan negatif (Negative Reinforcement) yaitu bertambahnya frekuensi perilaku jika penguatan negatif dihilangkan.

Teori Harapan

Teori Victor H. Vroom (Teori Harapan )Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And Motivation” mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “ Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.
Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.
Di kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia teori harapan ini mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi cara untuk memperolehnya.
teori harapan adalah keputusan untuk mencurahkan usaha. Nadler dan Lawler (1976) atas teori harapan menyarankan beberapa cara tertentu yang memungkinkan manejer dan organisasi menangani urusan mereka untuk memperoleh motivasi maksimal dari pegawai Pastikan jenis hasil atau ganjaran yang mempunyai nilai bagi pegawai
1. Definisikan secara cermat, dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dan diukur, apa yangdinginkan dari pegawai
2. Pastikan bahwa hasil tersebut dapat dicapai oleh pegawai
3. Kaitkan hasil yang dinginkan dengan tingkat kinerja yang di inginkan
4. Pastikan bahwa ganjaran cukup besar untuk memotivasi perilaku yang penting
5. Orang bekinerja tinggi harus menerima lebih banyak ganjaran yang diinginkan daripada orang yang berkinerja rendah

SUMBER :
http://www.indogamers.com/f261/teori_teori_motivasi-200334/
http://sutisna.com/pendidikan/strategi-belajar-mengajar/pengertian-motivasi/

Kamis, 29 Oktober 2009

Teori Kepemimpinan

Nama kelompok :
• Putri Sri Dewi (10507313)
• Evita Dewi A (10507079)
• Uli M.Z (10507317)
• Restyka (10507200)

TEORI-TEORI KEPEMIMPINAN

Teori-teori kepemimpinan yang mendominasi pembahasan kepemimpinan sebelum tahun 1900, menjadi pendahulu munculnya teori-teori kepemimpinan yang menekankan sifat-sifat pemimpin. Untuk melengkapi pandangan tersebut , para ahli teori mulai memberikan perhatian yang lebih besar pada faktor-faktor situasional dan lingkungan. Selanjutnya , dikembangkan pula teori-teori integrasi antara manusia dan situasi, psikoanalisis, pencapaian peran, perubahan, tujuan dan berbagai kebetulan yang menyebabkan orang bisa menjadi pemimpin.
Adapun teori-teori kepemimpinan yaitu :
Y Teori kepemimpinan V-Room&Yeton Modern
Y Teori kepemimpinan Contingensi of Leadhership (Fiedler)
Y Teori kepemimpinan Path-goal
Teori Kepemimpinan Vroom & Yetton
Teori kepemimpinan Vroom&Yetton disebut juga Teori Normatif (Normative Theory), karena mengarah kepada pemberian suatu rekomendasi tentang gaya kepemimpinan yang sebaiknya digunakan dalam situasi tertentu. Yaitu berfokus pada tingkat partisipasi yang diperbolehkan oleh pemimpin dalam pengambilan keputusan dan seleksi pendekatan yang akan memaksimalkan manfaat yang akan didapat kelompok dan pada waktu yang bersamaan, meminimalisasi gangguan pencapaian tujuan kelompok. .
Teori ini juga memberikan serangkaian aturan untuk menentukan bentuk dan banyaknya pengambilan keputusan partisipatif dalam situasi yang berbeda – beda.( Robbins, Stephen P, 2003.)
Model yang menjelaskan bagaimana seorang pemimpin harus memimpin dalam berbagai situasi. Model ini menunjukkan bahwa tidak ada corak kepemimpinan tunggal yang dapat diterapkan pada semua situasi. (Gibson, Ivancevich, & Donelly, 1996.)
Teori Kepemimpinan Vroom&Yetton ini merupakan salah satu teori contingency. Menurut teori ini, gaya kepemimpinan yang tepat ditentukan oleh corak persoalan yang dihadapi oleh macam keputusan yang harus diambil. Model teori ini dapat digunakan untuk :
- membantu mengenali berbagai jenis situasi pemecahan persoalan secara berkelompok ( group problem solving situation)
- menyarankan gaya – gaya kepemimpinan mana yang dianggap layak untuk setiap situasi. Ada tiga perangkat parameter yang penting yaitu klasifikasi gaya kepemimpinan, kriteria efektivitas keputusan, kriteria penemukenalan jenis situasi pemecahan persoalan.
Vroom& Yetton, menyajikan lima gaya pengambilan keputusan, yaitu :
Y A-I
Ciri – ciri :
Anda memecahkan persoalan atau mengambil keputusan sendiri dengan menggunakan informasi yang pada waktu itu ada pada anda.
Y A-II
Ciri – ciri :
Anda memperoleh informasi yang diperlukan dari bawahan, lalu memutuskan pemecahannya sendiri. Anda dapat atau tidak mengatakan kepada bawahan apa persoalannya sewaktu memperoleh informasi dari mereka. Peran yang dimainkan bawahan anda dalam pengambilan keputusan adalah memberikan informasi yang diperlukan, dan bukan mengajukan atau menilai alternative – alternative pemecahan.
Y C – I
Ciri – ciri :
Anda memberitahukan persoalan kepada beberapa bawahan yang relevan secara pribad, memperoleh gagasan dan saran mereka tanpa mengumpulkan mereka dalam satu kelompok. Kemudian Anda mengambil keputusan yang mungkin atau tidak mencerminkan pengaruh dari bawahan anda.
Y C – II
Ciri – ciri :
Anda memberitahukan persoalan kepada bawahan sebagai satu kelompok , memperoleh gagasan dan saran mereka secara kolektif. Kemudian anda mengambil keputusan yang mungkin atau tidak mencerminkan pengaruh dari bawahan anda.
Y G – II
Ciri – ciri :
Anda memberitahukan persoalan kepada bawahan sebagai satu kelompok. Bersama-sama meraka anda menghasilkan dan menilai berbagai alternative pemecahan dan berusaha untuk mencapai suatu kesetujuan atau consensus mengenai satu pemecahan. Peran anda mirip seorang ketua. Anda tidak mencoba untuk mempengarhi kelompok untuk menerima pemecahan Anda, dan anda bersedia untuk menerima dan melaksanakan setiap pemecahan yang didukung oleh seluruh anggota kelompok.
Kriteria efektivitas keputusan dalam teori ini mencakup mutu dari keputusan, penerimaan keputusan oleh bawahan atau kesediaan mereka untuk melaksanakan keputusan, dan jumlah waktu yang diperlukan untuk sampai pada pemecahannya. Berikut ini adalah aturan yang mempengaruhi kelayakan dari gaya kepemimpinan :
a) Aturan Informasi – Pemimpin
Jika mutu dari keputusan penting dan pemimpin tidak memiliki informasi atau kecakapan untuk memecahkan persoalan sendiri, maka gaya kepemimpinan A-I tidak sesuai.
b) Aturan Kesesuaian
Jika mutu dari keputusan penting, jika para bawahan tidak mau berusaha untuk mencapai tujuan organisasi sewaktu mereka mencoba memecahkan persoalan, maka G-II tidak merupakan gaya kepemimpinan yang layak.
c) Aturan Persoalan – Tidak Berstruktur
Jika mutu dari keputusan penting dan persoalan tidak berstruktur , sedangkan pada saat yang sama pemimpin tidak memiliki kecakapan atau informasi yang diperlukan untuk memecahkan persoalan sendiri, maka metode untuk memecahkan persoalan harus memberikan peluang kepada bawahan yang memiliki informasi yang diperlukan untuk saling berinteraksi. Dalam situasi ini gaya kepemimpinan A-I, A-II dan C-I tidaklah cocok.
d) Aturan Penerimaan
Jika penerimaan dari satu pemecahan oleh para bawahan adalah penting dan terdapat suatu ketidakpastian tentang akan diterimanya suatu keputusan otokratik, maka gaya kepemimpinan A-I dan A-II tidak layak untuk digunakan.
e) Aturan Konflik
Jika penerimaan dari suatu pemecahan oleh kelompok adalah pening dan jika suatu keputusan otokratik tidak akan diterima, dan jika ada kemungkinan ketidaksetujuan anatara bawahan yang berusaha memecahkan persoalan, maka gaya kepemimpinan harus memberikan kesempatan kepada pihak – pihak yang tidak setuu untuk mengatasi perbedaan mereka, dan memberikan kepada mereka pengetahuan selengkapnya dari persoalan. Dibawah kondisi ini gaya kepemimpinan A-I, A-II dan C-I tidak layak digunakan.
f) Aturan Kewajaran
Jika penerimaan oleh kelompok penting tetapi mutu dari keputusan tdak penting, maka gaya kepemimpinan harus memberikan peluan kepada bawahan untuk berinteraksi dan berunding tentang apa pemecahan yang wajar. Jika di bawah kondis ini tidak dapat dipastikan bahwa suatu keputusan otokratik akan diterima, maka gaya kepemimpian A-I, A-II, C-I, dan C-II tdak sesuai.
g) Aturan Prioritas – Penerimaan
Jika penerimaan dari pemecahan penting, tidak dapat dipastikan sebagai hasil dari suatu keputusan otokratik, dan jika bawahan berkemauan untuk mengarah ke tujuan organisasi dalam mencarai suatu pemechan, maka gaya kepemimpinan yang diinginkan adalah yang memberikan kesamaan hak kepada anggota tanpa merugikan mutu pemecahan, karena ini akan menghasilkan penerimaan yang lebih besar dari keputusan. Dengan demikian gaya kepemimpinan A-I, A-II, C-I, dan C-II tidak akan sesuai.

Teori kepemimpinan Contingensi of Leadhership (Fiedler)

Model teori ini dikembangkan oleh Fiedler. Model ini menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang paling efektif tergantung pada situasi yang dihadapi dan perubahan gaya bukan merupakan suatu hal yang sulit. Model ini serupa sekali dengan gaya kepemimpinan situasional dari Hersey dan Blanchard. Konsepsi kepemimpinan situasional ini melengkapi pemimpin dengan pemahaman dari hubungan antara gaya kepemimpinan yang efektif dengan tingkat kematangan (maturity) pengikutnya. Perilaku pengikut atau bawahan ini amat penting untuk mengetahui kepemimpinan situasional, karena bukan saja pengikut sebagai individu bisa menerima atau menolak pemimpinnya, akan tetapi sebagai kelompok, pengikut dapat menentukan kekuatan pribadi apapun yang dimiliki pemimpin. Teori-teori kontingensi berasumsi bahwa berbagai pola perilaku pemimpin (atau ciri) dibutuhkan dalam berbagai situasi bagi efektivitas kepemimpinan.
Model ini menyatakan bahwa keefektifan suatu kelompok bergantung pada :
• hubungan dan interaksi pemimpin dengan bawahannya
• sejauh mana pemimpin mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi.
Dalam hal yang pertama yaitu hubungan dan interaksi pemimpin dengan bawahanya dapat dinilai dengan kuesioner LPC ( Least Prefered Coworker ). Skor pada Lpc ini dapat digunakan untuk mengidenfikasikan Gaya Kepemimpinan (jarak psikologis antara pemimpin dengan bawahan, apakah pemimpin berorientasi pada tugas / hubungan).
- Jika skor LPC Tinggi, maka pemimpin berorientasi pada hubungan ( relationship oriented )
- Jika skor LPC Rendah, maka pemmpin berorientasi pada tugas ( task oriented )
Sedangkan untuk hal yang kedua yaitu sejauh mana pemimpin mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi , ditentukan oleh tiga variabel situasi :
1. Hubungan Pemimpin – Anggota ( Leader – Member Relations )
2. Struktur Tugas ( Task Structure )
3. Kekuasaan Kedudukan ( Position Power )
Dari skor LPC dan situasi dapat disimpulkan bahwa :
- Pemimpin dengan skor LPC Rendah ( Pemimpin yang berorientasi pada tugas ) dapat berhasil dalam situasi kelompok yang menguntungkan maupun yang tidak menguntungkan
- Pemimpin dengan skor LPC Tinggi ( Pemimpin yang berorientasi pada hubungan ) dapat berhasil dalam situasi kelompok yang moderat derajat keuntungannya
LPC Contingency Model dari Fiedler berhubungan dengan pengaruh yang melunakkan dari tiga variabel situasional pada hubungan antara suatu ciri pemimpin (LPC) dan kinerja pengikut. Menurut model ini, para pemimpin yang berskor LPC tinggi adalah lebih efektif untuk situasi-situasi yang secara moderat menguntungkan, sedangkan para pemimpin dengan skor LPC rendah akan lebih menguntungkan baik pada situasi yang menguntungkan maupun tidak menguntungkan. Leader Member Exchange Theory menjelaskan bagaimana para pemimpin mengembangkan hubungan pertukaran dalam situasi yang berbeda dengan berbagai pengikut. Hersey and Blanchard Situasional Theory lebih memusatkan perhatiannya pada para pengikut. Teori ini menekankan pada perilaku pemimpin dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya dan hubungan pemimpin pengikut.
Leader Participation Model menggambarkan bagaimana perilaku pemimpin dalam proses pengambilan keputusan dikaitkan dengan variabel situasi. Model ini menganalisis berbagai jenis situasi yang mungkin dihadapi seorang pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya. Penekanannya pada perilaku kepemimpinan seseorang yang bersifat fleksibel sesuai dengan keadaan yang dihadapinya.
Fiedler memperkenalkan tiga variabel yaitu:
- Task structure : keadaan tugas yang dihadapi apakah structured task atau unstructured task
- Leader-member relationship : hubungan antara pimpinan dengan bawahan, apakah kuat (saling percaya, saling menghargai) atau lemah.
- Position power : ukuran aktual seorang pemimpin, ada beberapa power yaitu:
• legitimate power : adanya kekuatan legal pemimpin
• reward power : kekuatan yang berasal imbalan yang diberikan pimpinan
• coercive power : kekuatan pemimpin dalam memberikan ancaman
• expert power : kekuatan yang muncul karena keahlian pemimpinnya
• referent power : kekuatan yang muncul karena bawahan menyukai pemimpinnya
• information power : pemimpin mempunyai informasi yang lebih dari bawahannya.
Dari hasil penelitian, Fiedler menyimpulkan bahwa pendekatan yang berorientasikan tugas lebih efektif bila kondisi kelompok sangat menguntungkan (pemimpin baik/hubungan kelompok baik, posisi pemimpin kuat, dan struktur buruk/relasi kelompok buruk , posisi pemimpin lemah dan tugas yang tidak jelas). Kepemimpinan yang berorientasi kelompok lebih disukai/baik bila kondisi relatif stabil, yang dengan demikian perhatian dapat dicurahkan pada preservasi relasi kelompok, upaya pencegahan konflik, dan pekerjaan yang tidak efisien yang kemudian dapat membuat keadaan kelompok menjadi tidak harmonis.

PATH-GOAL THEORY
Robert House mengemukakan Path- Goal Theory yang menyaring elemen-elemen dari penelitian Ohio State tentang kepemimpinan pada inisiating structure dan consideration serta teori pengharapan motivasi. Teori ini menjelaskan bahwa efektivitas seorang pemimpin didasarkan atas kemampuannya di dalam menimbulkan kepuasan dan motivasi para anggota kelompok, dengan menggunakan rancangan insentif untuk penghargaan dan hukuman bagi mereka yang berhasil atau gagal dalam mencapai tujuan kelompok. Untuk mencapai tujuan tersebut seorang pemimpin diwajibkan untuk menggunakan perilaku kepemimpinan yang berbeda sesuai dengan tuntutan situasi. Perilaku pemimpin akan diterima oleh anggota kelompok sejauh mereka menganggap itu sebagai sumber kepuasan langsng atau kepuasan pada masa yang akan datang.
Robert House memulai teorinya dengan formulasi awal sebagai berikut :
Fungsi motivasi pemimpin terdiri dari peningkatan imbalan pribadi kepada bawahan atas pencapaian tugasnya, membuat jalan yang lebih mudah untuk mendapatkan imbalan tersebut, dengan memberi penjelasan, mengurangi hambatan, dan meningkatkan peluang untuk mendapatkan kepuasan pribadi.
Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan model-model sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.
Dasar dari teori ini adalah bahwa merupakan tugas pemimpin untuk membantu anggotanya dalam mencapai tujuan mereka dan untuk memberi arah dan dukungan atau keduanya yang dibutuhkan untuk menjamin tujuan mereka sesuai dengan tujuan kelompok atau organisasi secara keseluruhan. Istilah path-goal ini datang dari keyakinan bahwa pemimpin yang efektif memperjelas jalur untuk membantu anggotanya dari awal sampai ke pencapaian tujuan mereka, dan menciptakan penelusuran disepanjang jalur yang lebih mudah dengan mengurangi hambatan dan pitfalls (Robbins, 2002).
Perilaku pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang (1) membuat bawahan merasa butuh kepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif, dan (2) menyediakan ajaran, arahan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robins, 2002). Untuk pengujian pernyataan ini, Robert House mengenali empat perilaku pemimpin. Pemimpin yang berkarakter directive-leader, supportive leader, participative leader dan achievement-oriented leader. Berlawanan dengan pandangan Fiedler tentang perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa pemimpin itu bersifat fleksibel. Teori path-goal mengimplikasikan bahwa pemimpin yang sama mampu menjalankan beberapa atau keseluruhan perilaku yang bergantung pada situasi (Robins, 2002).
Model kepemimpinan path-goal berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Teorinya disebut sebagai path-goal karena memfokuskan pada bagaimana pimpinan mempengaruhi persepsi pengikutnya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalan untuk menggapai tujuan.
Teori Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari hasil (goal attractiveness). Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai dengan nilai tinggi. Model path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif adalah mereka yang membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi.
Model path-goal menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:
1. Fungsi Pertama; adalah memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya dalam memahami bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam menyelesaikan tugasnya.
2. Fungsi Kedua; adalah meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka.
Untuk membentuk fungsi-fungsi tersebut, pemimpin dapat mengambil berbagai gaya kepemimpinan. Empat perbedaan gaya kepemimpinan dijelaskan dalam model path-goal sebagai berikut (Koontz et al dalam Kajanto, 2003)
Kepemimpinan pengarah (directive leadership)
Pemimpinan memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta memberikan bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan pengawasan.
Kepemimpinan pendukung (supportive leadership)
Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan. Ia juga memperlakukan semua bawahan sama dan menunjukkan tentang keberadaan mereka, status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang menyenangkan di antara anggota kelompok. Kepemimpinan pendukung (supportive) memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami frustasi dan kekecewaan.
Kepemimpinan partisipatif (participative leadership)
Pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran dan ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan motivasi kerja bawahan.
Kepemimpinan berorientasi prestasi (achievement-oriented leadership)
Gaya kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam proses pencapaian tujuan tersebut.
Dengan menggunakan salah satu dari empat gaya di atas, dan dengan memperhitungkan faktor-faktor seperti yang diuraikan tersebut, seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi persepsi para karyawan atau bawahannya dan mampu memberikan motivasi kepada mereka, dengan cara mengarahkan mereka pada kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian tujuan, kepuasan kerja dan pelaksanaan kerja yang efektif.
Terdapat dua faktor situasional yang diidentifikasikan kedalam model teori path-goal, yaitu: personal characteristic of subordinate and environmental pressures and demmand (Gibson, 2003).
• Karakteristik Bawahan
Pada faktor situasional ini, teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut akan merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan-kepuasan masa depan. Karakteristik bawahan mencakup tiga hal, yakni:
1) Letak Kendali (Locus of Control)
Hal ini berkaitan dengan keyakinan individu sehubungan dengan penentuan hasil. Individu yang mempunyai letak kendali internal meyakini bahwa hasil (reward) yang mereka peroleh didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan mereka yang cenderung letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka peroleh dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang internal cenderung lebih menyukai gaya kepemimpinan yang participative, sedangkan eksternal umumnya lebih menyenangi gaya kepemimpinan directive.
2) Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism)
Kesediaan orang untuk menerima pengaruh dari orang lain. Bawahan yang tingkat authoritarianism yang tinggi cenderung merespon gaya kepemimpinan yang directive, sedangkan bawahan yang tingkat authoritarianism rendah cenderung memilih gaya kepemimpinan partisipatif.
3) Kemampuan (Abilities)
Kemampuan dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih berhasil dengan pemimpin yang berorientasi prestasi (achievement-oriented) yang telah menentukan tantangan sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi yang tinggi, atau pemimpin yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan mengarahkan mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung memilih gaya kepemimpinan achievement oriented, sedangkan bawahan yang mempunyai kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin yang supportive.
• Karakteristik Lingkungan
Pada faktor situasional ini path-goal menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan, jika:
1) Perilaku tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja.
2) Perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa pemberian latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan pelaksanaan kerja.
Karakteristik lingkungan terdiri dari tiga hal, yaitu:
1) Struktur Tugas
Struktur kerja yang tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.
2) Wewenang Formal
Kepemimpinan yang direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan participative bagi organisasi dengan strktur wewenang formal yang tinggi
3) Kelompok Kerja
Kelompok kerja dengan tingkat kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportive.

Sumber :
• http://putrititania.ngeblogs.com/2009/10/26/kepemimpinan/

Sabtu, 24 Oktober 2009

Teori Mc Gregor (teori X dan Y) dan Teori Sistem 4, Rensis Likert

Nama kelompok :
• Putri Sri Dewi (10507313)
• Evita Dewi A (10507079)
• Uli M.Z (10507317)
• Restyka (10507200)

Definisi/Pengertian Teori Perilaku Teori X dan Teori Y (X Y Behavior Theory) Douglas McGregor

Teori perilaku adalah teori yang menjelaskan bahwa suatu perilaku tertentu dapat membedakan pemimpin dan bukan pemimpin pada orang-orang. Konsep teori X dan Y dikemukakan oleh Douglas McGregor dalam buku The Human Side Enterprise di mana para manajer / pemimpin organisasi perusahaan memiliki dua jenis pandangan terhadap para pegawai / karyawan yaitu teori x atau teori y.

A. Teori X
Teori ini menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk pemalas yang tidak suka bekerja serta senang menghindar dari pekerjaan dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Pekerja memiliki ambisi yang kecil untuk mencapai tujuan perusahaan namun menginginkan balas jasa serta jaminan hidup yang tinggi. Dalam bekerja para pekerja harus terus diawasi, diancam serta diarahkan agar dapat bekerja sesuai dengan yang diinginkan perusahaan.

B. Teori Y
Teori ini memiliki anggapan bahwa kerja adalah kodrat manusia seperti halnya kegiatan sehari-hari lainnya. Pekerja tidak perlu terlalu diawasi dan diancam secara ketat karena mereka memiliki pengendalian serta pengerahan diri untuk bekerja sesuai tujuan perusahaan. Pekerja memiliki kemampuan kreativitas, imajinasi, kepandaian serta memahami tanggung jawab dan prestasi atas pencapaian tujuan kerja. Pekerja juga tidak harus mengerahkan segala potensi diri yang dimiliki dalam bekerja.

Penelitian teori x dan y menghasilkan teori gaya kepemimpinan ohio state yang membagi kepemimpinan berdasarkan skala pertimbangan dan penciptaan struktur. Teori Z dapat anda baca di artikel lain di situs organisasi.org ini. Gunakan fasilitas pencarian yang ada untuk menemukan apa yang anda butuhkan.

menurut asumsi teori X dari McGregor ini bahwa orang-orang ini pada hakekatnya adalah:
1. Pada dasarnya pegawai tidak menyukai pekerjaan, jika mungkin berusaha menghindarinya.
2. Karena pegawai tidak menyukai pekerjaan, maka mereka harus dipaksa, dikendalikan, atau diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.
3. Para pegawai akan mengelakkan tanggung jawab dan mencari pengarahan yang formal sepanjang hal itu terjadi.
4. Kebanyakan pegawai menempatkan rasa aman diatas faktor lain yang berhubungan dengan pekerjaan yang akan memperlihatkan sedikit ambisi.

Untuk menyadari kelemahan dari asumí teori X itu maka McGregor memberikan alternatif teori lain yang dinamakan teori Y. Secara keseluruhan asumís teori Y mengenai manusia adalah sebagai berikut:
1. Pekerjaan itu pada hakekatnya seperti bermain dapat memberikan kepuasan kepada orang. Keduanya bekerja dan bermain merupakan aktiva-aktiva fisik dan mental. Sehingga di antara keduanya tidak ada perbedaan, jira keadaan sama-sama menyenangka.
2. Manusia dapat mengawasi diri sendiri, dan hal itu tidak bisa dihindari dalam rangka mencapai tujuan-tujuan organisasi.
3. Kemampuan untuk berkreativitas di dalam memecahkan persoalan-persoalan organisasi secara luas didistribusikan kepada seluruh karyawan.
4. Motivasi tidak saja berlaku pada kebutuhan-kebutuhan social, penghargaan dan aktualisasi diri tetapi juga pada tingkat kebutuhan-kebutuhan fisiologi dan keamanan.
5. Orang-orang dapat mengendalikan diri dan kreatif dalam bekerja jika dimotivasi secara tepat.
Dengan memahami asumís dasar teori Y ini, McGregor menyatakan selanjutnya bahwa merupakan tugas yang penting bagi menajemen untuk melepaskan tali pengendali dengan memberikan kesempatan mengembangkan potensi yang ada pada masing-masing individu. Motivasi yang sesuai bagi orang-orang untuk mencapai tujuannya sendiri sebaik mungkin, dengan memberikan pengarahan usaha-usaha mereka untuk mencapai tujuan organisasi.

Empat Sistem – Rensis Likert

Gaya kepemimpian yaitu sikap dan tindakan yang dilakukan pemimpin dalam menghadapi bawahan. Ada dua macam gaya kepemimpinan yaitu gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada karyawan.

Dalam gaya yang ber orientasi pada tugas ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut:
- Pemimpin memberikan petunjuk kepada bawahan.
- Pemimpin selalu mengadakan pengawasan secara ketat terhadap bawahan.
- Pemimpin meyakinkan kepada bawahan bahwa tugas-tugas harus dilaksanakan sesuai
dengan keinginannya.
- Pemimpin lebih menekankan kepada pelaksanaan tugas daripada pembinaan dan pe-
ngembangan bawahan.

Sedangkan gaya kepemimpinan yang berorientasi kepada karyawan atau bawahan
ditandai dengan beberapa hal sebagai berikut.
- Pemimpin lebih memberikan motivasi daripada memberikan pengawasan kepada
bawahan.
- Pemimpin melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan.
- Pemimpin lebih bersifat kekeluargaan, saling percaya dan kerja sama, saling
menghormati di antara sesama anggota kelompok.

Sebagai pengembangan, maka para ahli berusaha dapat menentukan mana di antara
kedua gaya kepemimpinan itu yang paling efektif untuk kepentingan organisasi atau
perusahaan. Salah satu pendekatan yang dikenal dalam menjalankan gaya kepemimpinan
adalah ada empat sistem manajemen yang dikembangkan oleh Rensis Likert. Empat sistem
tersebut terdiri dari:
- Sistem 1, otoritatif dan eksploitif:
manajer membuat semua keputusan yang berhubungan dengan kerja dan memerintah
para bawahan untuk melaksanakannya. Standar dan metode pelaksanaan juga secara
kaku ditetapkan oleh manajer.
- Sistem 2, otoritatif dan benevolent:
manajer tetap menentukan perintah-perintah, tetapi memberi bawahan kebebasan
untuk memberikan komentar terhadap perintah-perintah tersebut. berbagai fleksibilitas untuk melaksanakan tugas-tugas mereka dalam batas-batas dan
prosedur-prosedur yang telah ditetapkan.
- Sistem 3, konsultatif:
manajer menetapkan tujuan-tujuan dan memberikan perintah-perintah setelah hal-hal itu didiskusikan dahulu dengan bawahan. Bawahan dapat membuat keputusan - keputusan mereka sendiri tentang cara pelaksanaan tugas. Penghargaan lebih digunakan untuk memotivasi bawahan daripada ancaman hukuman.
- Sistem 4, partisipatif:
adalah sistem yang paling ideal menurut Likert tentang cara bagaimana organisasi seharusnya berjalan. Tujuan-tujuan ditetapkan dan keputusan-keputusan kerja dibuat oleh kelompok. Bila manajer secara formal yang membuat keputusan, mereka melakukan setelah mempertimbangkan saran dan pendapat dari para anggota kelompok. Untuk memotivasi bawahan, manajer tidak hanya mempergunakan penghargaan-penghargaan ekonomis tetapi juga mencoba memberikan kepada bawahan perasaan yang dibutuhkan dan penting.

SUMBER :
• http://puslit.petra.ac.id/search_engine/cache/MAN/MAN000202/MAN00020203.txt
• http://blackice89.blogspot.com/2007/12/teori-x-dan-teori-y-douglas-mcgregor.html
•http://organisasi.org/definisi-pengertian-teori-perilaku-teori-x-dan-teori-y-x-y-behavior-theory-douglas-mcgregor