Kamis, 29 Oktober 2009

Teori Kepemimpinan

Nama kelompok :
• Putri Sri Dewi (10507313)
• Evita Dewi A (10507079)
• Uli M.Z (10507317)
• Restyka (10507200)

TEORI-TEORI KEPEMIMPINAN

Teori-teori kepemimpinan yang mendominasi pembahasan kepemimpinan sebelum tahun 1900, menjadi pendahulu munculnya teori-teori kepemimpinan yang menekankan sifat-sifat pemimpin. Untuk melengkapi pandangan tersebut , para ahli teori mulai memberikan perhatian yang lebih besar pada faktor-faktor situasional dan lingkungan. Selanjutnya , dikembangkan pula teori-teori integrasi antara manusia dan situasi, psikoanalisis, pencapaian peran, perubahan, tujuan dan berbagai kebetulan yang menyebabkan orang bisa menjadi pemimpin.
Adapun teori-teori kepemimpinan yaitu :
Y Teori kepemimpinan V-Room&Yeton Modern
Y Teori kepemimpinan Contingensi of Leadhership (Fiedler)
Y Teori kepemimpinan Path-goal
Teori Kepemimpinan Vroom & Yetton
Teori kepemimpinan Vroom&Yetton disebut juga Teori Normatif (Normative Theory), karena mengarah kepada pemberian suatu rekomendasi tentang gaya kepemimpinan yang sebaiknya digunakan dalam situasi tertentu. Yaitu berfokus pada tingkat partisipasi yang diperbolehkan oleh pemimpin dalam pengambilan keputusan dan seleksi pendekatan yang akan memaksimalkan manfaat yang akan didapat kelompok dan pada waktu yang bersamaan, meminimalisasi gangguan pencapaian tujuan kelompok. .
Teori ini juga memberikan serangkaian aturan untuk menentukan bentuk dan banyaknya pengambilan keputusan partisipatif dalam situasi yang berbeda – beda.( Robbins, Stephen P, 2003.)
Model yang menjelaskan bagaimana seorang pemimpin harus memimpin dalam berbagai situasi. Model ini menunjukkan bahwa tidak ada corak kepemimpinan tunggal yang dapat diterapkan pada semua situasi. (Gibson, Ivancevich, & Donelly, 1996.)
Teori Kepemimpinan Vroom&Yetton ini merupakan salah satu teori contingency. Menurut teori ini, gaya kepemimpinan yang tepat ditentukan oleh corak persoalan yang dihadapi oleh macam keputusan yang harus diambil. Model teori ini dapat digunakan untuk :
- membantu mengenali berbagai jenis situasi pemecahan persoalan secara berkelompok ( group problem solving situation)
- menyarankan gaya – gaya kepemimpinan mana yang dianggap layak untuk setiap situasi. Ada tiga perangkat parameter yang penting yaitu klasifikasi gaya kepemimpinan, kriteria efektivitas keputusan, kriteria penemukenalan jenis situasi pemecahan persoalan.
Vroom& Yetton, menyajikan lima gaya pengambilan keputusan, yaitu :
Y A-I
Ciri – ciri :
Anda memecahkan persoalan atau mengambil keputusan sendiri dengan menggunakan informasi yang pada waktu itu ada pada anda.
Y A-II
Ciri – ciri :
Anda memperoleh informasi yang diperlukan dari bawahan, lalu memutuskan pemecahannya sendiri. Anda dapat atau tidak mengatakan kepada bawahan apa persoalannya sewaktu memperoleh informasi dari mereka. Peran yang dimainkan bawahan anda dalam pengambilan keputusan adalah memberikan informasi yang diperlukan, dan bukan mengajukan atau menilai alternative – alternative pemecahan.
Y C – I
Ciri – ciri :
Anda memberitahukan persoalan kepada beberapa bawahan yang relevan secara pribad, memperoleh gagasan dan saran mereka tanpa mengumpulkan mereka dalam satu kelompok. Kemudian Anda mengambil keputusan yang mungkin atau tidak mencerminkan pengaruh dari bawahan anda.
Y C – II
Ciri – ciri :
Anda memberitahukan persoalan kepada bawahan sebagai satu kelompok , memperoleh gagasan dan saran mereka secara kolektif. Kemudian anda mengambil keputusan yang mungkin atau tidak mencerminkan pengaruh dari bawahan anda.
Y G – II
Ciri – ciri :
Anda memberitahukan persoalan kepada bawahan sebagai satu kelompok. Bersama-sama meraka anda menghasilkan dan menilai berbagai alternative pemecahan dan berusaha untuk mencapai suatu kesetujuan atau consensus mengenai satu pemecahan. Peran anda mirip seorang ketua. Anda tidak mencoba untuk mempengarhi kelompok untuk menerima pemecahan Anda, dan anda bersedia untuk menerima dan melaksanakan setiap pemecahan yang didukung oleh seluruh anggota kelompok.
Kriteria efektivitas keputusan dalam teori ini mencakup mutu dari keputusan, penerimaan keputusan oleh bawahan atau kesediaan mereka untuk melaksanakan keputusan, dan jumlah waktu yang diperlukan untuk sampai pada pemecahannya. Berikut ini adalah aturan yang mempengaruhi kelayakan dari gaya kepemimpinan :
a) Aturan Informasi – Pemimpin
Jika mutu dari keputusan penting dan pemimpin tidak memiliki informasi atau kecakapan untuk memecahkan persoalan sendiri, maka gaya kepemimpinan A-I tidak sesuai.
b) Aturan Kesesuaian
Jika mutu dari keputusan penting, jika para bawahan tidak mau berusaha untuk mencapai tujuan organisasi sewaktu mereka mencoba memecahkan persoalan, maka G-II tidak merupakan gaya kepemimpinan yang layak.
c) Aturan Persoalan – Tidak Berstruktur
Jika mutu dari keputusan penting dan persoalan tidak berstruktur , sedangkan pada saat yang sama pemimpin tidak memiliki kecakapan atau informasi yang diperlukan untuk memecahkan persoalan sendiri, maka metode untuk memecahkan persoalan harus memberikan peluang kepada bawahan yang memiliki informasi yang diperlukan untuk saling berinteraksi. Dalam situasi ini gaya kepemimpinan A-I, A-II dan C-I tidaklah cocok.
d) Aturan Penerimaan
Jika penerimaan dari satu pemecahan oleh para bawahan adalah penting dan terdapat suatu ketidakpastian tentang akan diterimanya suatu keputusan otokratik, maka gaya kepemimpinan A-I dan A-II tidak layak untuk digunakan.
e) Aturan Konflik
Jika penerimaan dari suatu pemecahan oleh kelompok adalah pening dan jika suatu keputusan otokratik tidak akan diterima, dan jika ada kemungkinan ketidaksetujuan anatara bawahan yang berusaha memecahkan persoalan, maka gaya kepemimpinan harus memberikan kesempatan kepada pihak – pihak yang tidak setuu untuk mengatasi perbedaan mereka, dan memberikan kepada mereka pengetahuan selengkapnya dari persoalan. Dibawah kondisi ini gaya kepemimpinan A-I, A-II dan C-I tidak layak digunakan.
f) Aturan Kewajaran
Jika penerimaan oleh kelompok penting tetapi mutu dari keputusan tdak penting, maka gaya kepemimpinan harus memberikan peluan kepada bawahan untuk berinteraksi dan berunding tentang apa pemecahan yang wajar. Jika di bawah kondis ini tidak dapat dipastikan bahwa suatu keputusan otokratik akan diterima, maka gaya kepemimpian A-I, A-II, C-I, dan C-II tdak sesuai.
g) Aturan Prioritas – Penerimaan
Jika penerimaan dari pemecahan penting, tidak dapat dipastikan sebagai hasil dari suatu keputusan otokratik, dan jika bawahan berkemauan untuk mengarah ke tujuan organisasi dalam mencarai suatu pemechan, maka gaya kepemimpinan yang diinginkan adalah yang memberikan kesamaan hak kepada anggota tanpa merugikan mutu pemecahan, karena ini akan menghasilkan penerimaan yang lebih besar dari keputusan. Dengan demikian gaya kepemimpinan A-I, A-II, C-I, dan C-II tidak akan sesuai.

Teori kepemimpinan Contingensi of Leadhership (Fiedler)

Model teori ini dikembangkan oleh Fiedler. Model ini menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang paling efektif tergantung pada situasi yang dihadapi dan perubahan gaya bukan merupakan suatu hal yang sulit. Model ini serupa sekali dengan gaya kepemimpinan situasional dari Hersey dan Blanchard. Konsepsi kepemimpinan situasional ini melengkapi pemimpin dengan pemahaman dari hubungan antara gaya kepemimpinan yang efektif dengan tingkat kematangan (maturity) pengikutnya. Perilaku pengikut atau bawahan ini amat penting untuk mengetahui kepemimpinan situasional, karena bukan saja pengikut sebagai individu bisa menerima atau menolak pemimpinnya, akan tetapi sebagai kelompok, pengikut dapat menentukan kekuatan pribadi apapun yang dimiliki pemimpin. Teori-teori kontingensi berasumsi bahwa berbagai pola perilaku pemimpin (atau ciri) dibutuhkan dalam berbagai situasi bagi efektivitas kepemimpinan.
Model ini menyatakan bahwa keefektifan suatu kelompok bergantung pada :
• hubungan dan interaksi pemimpin dengan bawahannya
• sejauh mana pemimpin mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi.
Dalam hal yang pertama yaitu hubungan dan interaksi pemimpin dengan bawahanya dapat dinilai dengan kuesioner LPC ( Least Prefered Coworker ). Skor pada Lpc ini dapat digunakan untuk mengidenfikasikan Gaya Kepemimpinan (jarak psikologis antara pemimpin dengan bawahan, apakah pemimpin berorientasi pada tugas / hubungan).
- Jika skor LPC Tinggi, maka pemimpin berorientasi pada hubungan ( relationship oriented )
- Jika skor LPC Rendah, maka pemmpin berorientasi pada tugas ( task oriented )
Sedangkan untuk hal yang kedua yaitu sejauh mana pemimpin mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi , ditentukan oleh tiga variabel situasi :
1. Hubungan Pemimpin – Anggota ( Leader – Member Relations )
2. Struktur Tugas ( Task Structure )
3. Kekuasaan Kedudukan ( Position Power )
Dari skor LPC dan situasi dapat disimpulkan bahwa :
- Pemimpin dengan skor LPC Rendah ( Pemimpin yang berorientasi pada tugas ) dapat berhasil dalam situasi kelompok yang menguntungkan maupun yang tidak menguntungkan
- Pemimpin dengan skor LPC Tinggi ( Pemimpin yang berorientasi pada hubungan ) dapat berhasil dalam situasi kelompok yang moderat derajat keuntungannya
LPC Contingency Model dari Fiedler berhubungan dengan pengaruh yang melunakkan dari tiga variabel situasional pada hubungan antara suatu ciri pemimpin (LPC) dan kinerja pengikut. Menurut model ini, para pemimpin yang berskor LPC tinggi adalah lebih efektif untuk situasi-situasi yang secara moderat menguntungkan, sedangkan para pemimpin dengan skor LPC rendah akan lebih menguntungkan baik pada situasi yang menguntungkan maupun tidak menguntungkan. Leader Member Exchange Theory menjelaskan bagaimana para pemimpin mengembangkan hubungan pertukaran dalam situasi yang berbeda dengan berbagai pengikut. Hersey and Blanchard Situasional Theory lebih memusatkan perhatiannya pada para pengikut. Teori ini menekankan pada perilaku pemimpin dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya dan hubungan pemimpin pengikut.
Leader Participation Model menggambarkan bagaimana perilaku pemimpin dalam proses pengambilan keputusan dikaitkan dengan variabel situasi. Model ini menganalisis berbagai jenis situasi yang mungkin dihadapi seorang pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya. Penekanannya pada perilaku kepemimpinan seseorang yang bersifat fleksibel sesuai dengan keadaan yang dihadapinya.
Fiedler memperkenalkan tiga variabel yaitu:
- Task structure : keadaan tugas yang dihadapi apakah structured task atau unstructured task
- Leader-member relationship : hubungan antara pimpinan dengan bawahan, apakah kuat (saling percaya, saling menghargai) atau lemah.
- Position power : ukuran aktual seorang pemimpin, ada beberapa power yaitu:
• legitimate power : adanya kekuatan legal pemimpin
• reward power : kekuatan yang berasal imbalan yang diberikan pimpinan
• coercive power : kekuatan pemimpin dalam memberikan ancaman
• expert power : kekuatan yang muncul karena keahlian pemimpinnya
• referent power : kekuatan yang muncul karena bawahan menyukai pemimpinnya
• information power : pemimpin mempunyai informasi yang lebih dari bawahannya.
Dari hasil penelitian, Fiedler menyimpulkan bahwa pendekatan yang berorientasikan tugas lebih efektif bila kondisi kelompok sangat menguntungkan (pemimpin baik/hubungan kelompok baik, posisi pemimpin kuat, dan struktur buruk/relasi kelompok buruk , posisi pemimpin lemah dan tugas yang tidak jelas). Kepemimpinan yang berorientasi kelompok lebih disukai/baik bila kondisi relatif stabil, yang dengan demikian perhatian dapat dicurahkan pada preservasi relasi kelompok, upaya pencegahan konflik, dan pekerjaan yang tidak efisien yang kemudian dapat membuat keadaan kelompok menjadi tidak harmonis.

PATH-GOAL THEORY
Robert House mengemukakan Path- Goal Theory yang menyaring elemen-elemen dari penelitian Ohio State tentang kepemimpinan pada inisiating structure dan consideration serta teori pengharapan motivasi. Teori ini menjelaskan bahwa efektivitas seorang pemimpin didasarkan atas kemampuannya di dalam menimbulkan kepuasan dan motivasi para anggota kelompok, dengan menggunakan rancangan insentif untuk penghargaan dan hukuman bagi mereka yang berhasil atau gagal dalam mencapai tujuan kelompok. Untuk mencapai tujuan tersebut seorang pemimpin diwajibkan untuk menggunakan perilaku kepemimpinan yang berbeda sesuai dengan tuntutan situasi. Perilaku pemimpin akan diterima oleh anggota kelompok sejauh mereka menganggap itu sebagai sumber kepuasan langsng atau kepuasan pada masa yang akan datang.
Robert House memulai teorinya dengan formulasi awal sebagai berikut :
Fungsi motivasi pemimpin terdiri dari peningkatan imbalan pribadi kepada bawahan atas pencapaian tugasnya, membuat jalan yang lebih mudah untuk mendapatkan imbalan tersebut, dengan memberi penjelasan, mengurangi hambatan, dan meningkatkan peluang untuk mendapatkan kepuasan pribadi.
Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan model-model sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.
Dasar dari teori ini adalah bahwa merupakan tugas pemimpin untuk membantu anggotanya dalam mencapai tujuan mereka dan untuk memberi arah dan dukungan atau keduanya yang dibutuhkan untuk menjamin tujuan mereka sesuai dengan tujuan kelompok atau organisasi secara keseluruhan. Istilah path-goal ini datang dari keyakinan bahwa pemimpin yang efektif memperjelas jalur untuk membantu anggotanya dari awal sampai ke pencapaian tujuan mereka, dan menciptakan penelusuran disepanjang jalur yang lebih mudah dengan mengurangi hambatan dan pitfalls (Robbins, 2002).
Perilaku pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang (1) membuat bawahan merasa butuh kepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif, dan (2) menyediakan ajaran, arahan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robins, 2002). Untuk pengujian pernyataan ini, Robert House mengenali empat perilaku pemimpin. Pemimpin yang berkarakter directive-leader, supportive leader, participative leader dan achievement-oriented leader. Berlawanan dengan pandangan Fiedler tentang perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa pemimpin itu bersifat fleksibel. Teori path-goal mengimplikasikan bahwa pemimpin yang sama mampu menjalankan beberapa atau keseluruhan perilaku yang bergantung pada situasi (Robins, 2002).
Model kepemimpinan path-goal berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Teorinya disebut sebagai path-goal karena memfokuskan pada bagaimana pimpinan mempengaruhi persepsi pengikutnya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalan untuk menggapai tujuan.
Teori Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari hasil (goal attractiveness). Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai dengan nilai tinggi. Model path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif adalah mereka yang membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi.
Model path-goal menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:
1. Fungsi Pertama; adalah memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya dalam memahami bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam menyelesaikan tugasnya.
2. Fungsi Kedua; adalah meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka.
Untuk membentuk fungsi-fungsi tersebut, pemimpin dapat mengambil berbagai gaya kepemimpinan. Empat perbedaan gaya kepemimpinan dijelaskan dalam model path-goal sebagai berikut (Koontz et al dalam Kajanto, 2003)
Kepemimpinan pengarah (directive leadership)
Pemimpinan memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta memberikan bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan pengawasan.
Kepemimpinan pendukung (supportive leadership)
Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan. Ia juga memperlakukan semua bawahan sama dan menunjukkan tentang keberadaan mereka, status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang menyenangkan di antara anggota kelompok. Kepemimpinan pendukung (supportive) memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami frustasi dan kekecewaan.
Kepemimpinan partisipatif (participative leadership)
Pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran dan ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan motivasi kerja bawahan.
Kepemimpinan berorientasi prestasi (achievement-oriented leadership)
Gaya kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam proses pencapaian tujuan tersebut.
Dengan menggunakan salah satu dari empat gaya di atas, dan dengan memperhitungkan faktor-faktor seperti yang diuraikan tersebut, seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi persepsi para karyawan atau bawahannya dan mampu memberikan motivasi kepada mereka, dengan cara mengarahkan mereka pada kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian tujuan, kepuasan kerja dan pelaksanaan kerja yang efektif.
Terdapat dua faktor situasional yang diidentifikasikan kedalam model teori path-goal, yaitu: personal characteristic of subordinate and environmental pressures and demmand (Gibson, 2003).
• Karakteristik Bawahan
Pada faktor situasional ini, teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut akan merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan-kepuasan masa depan. Karakteristik bawahan mencakup tiga hal, yakni:
1) Letak Kendali (Locus of Control)
Hal ini berkaitan dengan keyakinan individu sehubungan dengan penentuan hasil. Individu yang mempunyai letak kendali internal meyakini bahwa hasil (reward) yang mereka peroleh didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan mereka yang cenderung letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka peroleh dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang internal cenderung lebih menyukai gaya kepemimpinan yang participative, sedangkan eksternal umumnya lebih menyenangi gaya kepemimpinan directive.
2) Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism)
Kesediaan orang untuk menerima pengaruh dari orang lain. Bawahan yang tingkat authoritarianism yang tinggi cenderung merespon gaya kepemimpinan yang directive, sedangkan bawahan yang tingkat authoritarianism rendah cenderung memilih gaya kepemimpinan partisipatif.
3) Kemampuan (Abilities)
Kemampuan dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih berhasil dengan pemimpin yang berorientasi prestasi (achievement-oriented) yang telah menentukan tantangan sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi yang tinggi, atau pemimpin yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan mengarahkan mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung memilih gaya kepemimpinan achievement oriented, sedangkan bawahan yang mempunyai kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin yang supportive.
• Karakteristik Lingkungan
Pada faktor situasional ini path-goal menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan, jika:
1) Perilaku tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja.
2) Perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa pemberian latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan pelaksanaan kerja.
Karakteristik lingkungan terdiri dari tiga hal, yaitu:
1) Struktur Tugas
Struktur kerja yang tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.
2) Wewenang Formal
Kepemimpinan yang direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan participative bagi organisasi dengan strktur wewenang formal yang tinggi
3) Kelompok Kerja
Kelompok kerja dengan tingkat kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportive.

Sumber :
• http://putrititania.ngeblogs.com/2009/10/26/kepemimpinan/

Sabtu, 24 Oktober 2009

Teori Mc Gregor (teori X dan Y) dan Teori Sistem 4, Rensis Likert

Nama kelompok :
• Putri Sri Dewi (10507313)
• Evita Dewi A (10507079)
• Uli M.Z (10507317)
• Restyka (10507200)

Definisi/Pengertian Teori Perilaku Teori X dan Teori Y (X Y Behavior Theory) Douglas McGregor

Teori perilaku adalah teori yang menjelaskan bahwa suatu perilaku tertentu dapat membedakan pemimpin dan bukan pemimpin pada orang-orang. Konsep teori X dan Y dikemukakan oleh Douglas McGregor dalam buku The Human Side Enterprise di mana para manajer / pemimpin organisasi perusahaan memiliki dua jenis pandangan terhadap para pegawai / karyawan yaitu teori x atau teori y.

A. Teori X
Teori ini menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk pemalas yang tidak suka bekerja serta senang menghindar dari pekerjaan dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Pekerja memiliki ambisi yang kecil untuk mencapai tujuan perusahaan namun menginginkan balas jasa serta jaminan hidup yang tinggi. Dalam bekerja para pekerja harus terus diawasi, diancam serta diarahkan agar dapat bekerja sesuai dengan yang diinginkan perusahaan.

B. Teori Y
Teori ini memiliki anggapan bahwa kerja adalah kodrat manusia seperti halnya kegiatan sehari-hari lainnya. Pekerja tidak perlu terlalu diawasi dan diancam secara ketat karena mereka memiliki pengendalian serta pengerahan diri untuk bekerja sesuai tujuan perusahaan. Pekerja memiliki kemampuan kreativitas, imajinasi, kepandaian serta memahami tanggung jawab dan prestasi atas pencapaian tujuan kerja. Pekerja juga tidak harus mengerahkan segala potensi diri yang dimiliki dalam bekerja.

Penelitian teori x dan y menghasilkan teori gaya kepemimpinan ohio state yang membagi kepemimpinan berdasarkan skala pertimbangan dan penciptaan struktur. Teori Z dapat anda baca di artikel lain di situs organisasi.org ini. Gunakan fasilitas pencarian yang ada untuk menemukan apa yang anda butuhkan.

menurut asumsi teori X dari McGregor ini bahwa orang-orang ini pada hakekatnya adalah:
1. Pada dasarnya pegawai tidak menyukai pekerjaan, jika mungkin berusaha menghindarinya.
2. Karena pegawai tidak menyukai pekerjaan, maka mereka harus dipaksa, dikendalikan, atau diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.
3. Para pegawai akan mengelakkan tanggung jawab dan mencari pengarahan yang formal sepanjang hal itu terjadi.
4. Kebanyakan pegawai menempatkan rasa aman diatas faktor lain yang berhubungan dengan pekerjaan yang akan memperlihatkan sedikit ambisi.

Untuk menyadari kelemahan dari asumí teori X itu maka McGregor memberikan alternatif teori lain yang dinamakan teori Y. Secara keseluruhan asumís teori Y mengenai manusia adalah sebagai berikut:
1. Pekerjaan itu pada hakekatnya seperti bermain dapat memberikan kepuasan kepada orang. Keduanya bekerja dan bermain merupakan aktiva-aktiva fisik dan mental. Sehingga di antara keduanya tidak ada perbedaan, jira keadaan sama-sama menyenangka.
2. Manusia dapat mengawasi diri sendiri, dan hal itu tidak bisa dihindari dalam rangka mencapai tujuan-tujuan organisasi.
3. Kemampuan untuk berkreativitas di dalam memecahkan persoalan-persoalan organisasi secara luas didistribusikan kepada seluruh karyawan.
4. Motivasi tidak saja berlaku pada kebutuhan-kebutuhan social, penghargaan dan aktualisasi diri tetapi juga pada tingkat kebutuhan-kebutuhan fisiologi dan keamanan.
5. Orang-orang dapat mengendalikan diri dan kreatif dalam bekerja jika dimotivasi secara tepat.
Dengan memahami asumís dasar teori Y ini, McGregor menyatakan selanjutnya bahwa merupakan tugas yang penting bagi menajemen untuk melepaskan tali pengendali dengan memberikan kesempatan mengembangkan potensi yang ada pada masing-masing individu. Motivasi yang sesuai bagi orang-orang untuk mencapai tujuannya sendiri sebaik mungkin, dengan memberikan pengarahan usaha-usaha mereka untuk mencapai tujuan organisasi.

Empat Sistem – Rensis Likert

Gaya kepemimpian yaitu sikap dan tindakan yang dilakukan pemimpin dalam menghadapi bawahan. Ada dua macam gaya kepemimpinan yaitu gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada karyawan.

Dalam gaya yang ber orientasi pada tugas ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut:
- Pemimpin memberikan petunjuk kepada bawahan.
- Pemimpin selalu mengadakan pengawasan secara ketat terhadap bawahan.
- Pemimpin meyakinkan kepada bawahan bahwa tugas-tugas harus dilaksanakan sesuai
dengan keinginannya.
- Pemimpin lebih menekankan kepada pelaksanaan tugas daripada pembinaan dan pe-
ngembangan bawahan.

Sedangkan gaya kepemimpinan yang berorientasi kepada karyawan atau bawahan
ditandai dengan beberapa hal sebagai berikut.
- Pemimpin lebih memberikan motivasi daripada memberikan pengawasan kepada
bawahan.
- Pemimpin melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan.
- Pemimpin lebih bersifat kekeluargaan, saling percaya dan kerja sama, saling
menghormati di antara sesama anggota kelompok.

Sebagai pengembangan, maka para ahli berusaha dapat menentukan mana di antara
kedua gaya kepemimpinan itu yang paling efektif untuk kepentingan organisasi atau
perusahaan. Salah satu pendekatan yang dikenal dalam menjalankan gaya kepemimpinan
adalah ada empat sistem manajemen yang dikembangkan oleh Rensis Likert. Empat sistem
tersebut terdiri dari:
- Sistem 1, otoritatif dan eksploitif:
manajer membuat semua keputusan yang berhubungan dengan kerja dan memerintah
para bawahan untuk melaksanakannya. Standar dan metode pelaksanaan juga secara
kaku ditetapkan oleh manajer.
- Sistem 2, otoritatif dan benevolent:
manajer tetap menentukan perintah-perintah, tetapi memberi bawahan kebebasan
untuk memberikan komentar terhadap perintah-perintah tersebut. berbagai fleksibilitas untuk melaksanakan tugas-tugas mereka dalam batas-batas dan
prosedur-prosedur yang telah ditetapkan.
- Sistem 3, konsultatif:
manajer menetapkan tujuan-tujuan dan memberikan perintah-perintah setelah hal-hal itu didiskusikan dahulu dengan bawahan. Bawahan dapat membuat keputusan - keputusan mereka sendiri tentang cara pelaksanaan tugas. Penghargaan lebih digunakan untuk memotivasi bawahan daripada ancaman hukuman.
- Sistem 4, partisipatif:
adalah sistem yang paling ideal menurut Likert tentang cara bagaimana organisasi seharusnya berjalan. Tujuan-tujuan ditetapkan dan keputusan-keputusan kerja dibuat oleh kelompok. Bila manajer secara formal yang membuat keputusan, mereka melakukan setelah mempertimbangkan saran dan pendapat dari para anggota kelompok. Untuk memotivasi bawahan, manajer tidak hanya mempergunakan penghargaan-penghargaan ekonomis tetapi juga mencoba memberikan kepada bawahan perasaan yang dibutuhkan dan penting.

SUMBER :
• http://puslit.petra.ac.id/search_engine/cache/MAN/MAN000202/MAN00020203.txt
• http://blackice89.blogspot.com/2007/12/teori-x-dan-teori-y-douglas-mcgregor.html
•http://organisasi.org/definisi-pengertian-teori-perilaku-teori-x-dan-teori-y-x-y-behavior-theory-douglas-mcgregor

Rabu, 21 Oktober 2009

Bentuk-bentuk yang mempengaruhi perilaku seseorang

BENTUK-BENTUK YANG MEMPENGARUHI PERILAKU SESEORANG

Definisi Pengaruh
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002,849), pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu (seseorang, benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan, atau perbuatan seseorang.

Hal-hal yang berkaitan untuk mengubah perilaku
• Pengaruh dan Emosi
Apabila individu bermaksud untuk mempengaruhi individu lain sebaiknya ia menyadari bahwa ia sedang melaksanakan tugas emosional sebagai tugas intelektual; perubahan pada individu, organisasi, masyarakat, selalu meliputi komponen yang luas dari emosionalitas.

• Motivasi orang untuk merubah perilaku
Untuk mengubah perilaku, seseorang harus memliki motif atau tujuan. Harus jelas motif atau tujuanya. Bentuk paling umum dari ketidakjelasan motif untuk merubah seseorang bisa berasal dari : konflik kebutuhan-kebutuhan jangka pendek dan panjang.

• Kunci untuk merubah terletak pada orang yang akan dirubah
Pihak yang diubah harus mempunyai kekuasaan untuk memutuskan apakah ia akan berubah atau tidak. Seorang yang akan mengubah perilaku dapat mempengaruhi keputusan tapi tidak dapat membuat keputusan.

• Perubahan menimbulkan kebingungan
Selama proses perubahan perilaku seringkali orang yang akan diubah menjadi bingung ,apakah itu benar atau salah.

KEKUASAAN YANG SAH ATAU RESMI
Hubungan pemimpin dan kekuasaan adalah ibarat gula dengan manisnya, ibarat garam dengan asinnya. Dua-duanya tak terpisahkan. Kepemimpinan yang efektif (effective leadership) terealisasi pada saat seorang pemimpin dengan kekuasaannya mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Ketika kekuasaan ternyata bisa timbul tidak hanya dari satu sumber, kepemimpinan yang efektif bisa dianalogikan sebagai movement untuk memanfaatkan genesis (asal usul) kekuasaan, dan menerapkannya pada tempat yang tepat.

Genesis kekuasaan, atau dalam terminologi lain: “jenis-jenis kekuasaan (types of power)” (Robbins-1991), atau “basis-basis kekuasaan sosial (the bases of social power)” (French-1960), pada hakekatnya teridentifikasi dari lima hal: legitimate power, coercive power, reward power, expert power, dan referent power.

Legitimate Power (kekuasaan sah), yakni kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin sebagai hasil dari posisinya dalam suatu organisasi atau lembaga. Kekuasaan yang memberi otoritas atau wewenang (authority) kepada seorang pemimpin untuk memberi perintah, yang harus didengar dan dipatuhi oleh anak buahnya. Bisa berupa kekuasaan seorang jenderal terhadap para prajuritnya, seorang kepala sekolah terhadap guru-guru yang dipimpinnya, ataupun seorang pemimpin perusahaan terhadap karyawannya.

Coercive Power (kekuasaan paksa), yakni kekuasaan yang didasari karena kemampuan seorang pemimpin untuk memberi hukuman dan melakukan pengendalian. Yang dipimpin juga menyadari bahwa apabila dia tidak mematuhinya, akan ada efek negatif yang bisa timbul. Pemimpin yang bijak adalah yang bisa menggunakan kekuasaan ini dalam konotasi pendidikan dan arahan yang positif kepada anak buah. Bukan hanya karena rasa senang-tidak senang, ataupun faktor-faktor subyektif lainnya.

Reward Power (kekuasaan penghargaan), adalah kekuasaan untuk memberi keuntungan positif atau penghargaan kepada yang dipimpin. Tentu hal ini bisa terlaksana dalam konteks bahwa sang pemimpin mempunyai kemampuan dan sumberdaya untuk memberikan penghargaan kepada bawahan yang mengikuti arahan-arahannya. Penghargaan bisa berupa pemberian hak otonomi atas suatu wilayah yang berprestasi, promosi jabatan, uang, pekerjaan yang lebih menantang, dsb.

Expert Power (kekuasaan kepakaran), yakni kekuasaan yang berdasarkan karena kepakaran dan kemampuan seseorang dalam suatu bidang tertentu, sehingga menyebabkan sang bawahan patuh karena percaya bahwa pemimpin mempunyai pengalaman, pengetahuan dan kemahiran konseptual dan teknikal. Kekuasaan ini akan
terus berjalan dalam kerangka sang pengikut memerlukan kepakarannya, dan akan hilang apabila sudah tidak memerlukannya. Kekuasaan kepakaran bisa terus eksis apabila ditunjang oleh referent power atau legitimate power.

Referent Power (kekuasaan rujukan) adalah kekuasaan yang timbul karena karisma, karakteristik individu, keteladanan atau kepribadian yang menarik. Logika sederhana dari jenis kekuasaan ini adalah, apabila saya mengagumi dan memuja anda, maka anda dapat berkuasa atas saya.

Senin, 05 Oktober 2009

Teori kekuasaan dan Wewenang dalam Kehidupan Sehari-hari

Politik Ekologi Sosial

oleh: Graham Baugh

Terjemahan ini petikan dari The Politics of Social Ecology, salah satu esai yang dimuat dalam kumpulan Renewing the Earth, The Promise of Social Ecology. Ini kumpulan yang merayakan karya Murray Bookchin.

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup, manusia selalau berinteraksi dengan sesama serta dengan lingkungan. Manusia hidup berkelompok baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil.
Hidup dalam kelompok tentulah tidak mudah. Untuk menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis anggota kelompok haruslah saling menghormati dan menghargai. Keteraturan hidup perlu selalu dijaga. Hidup yang teratur adalah impian setiap insan. Menciptakan dan menjaga kehidupan yang harmonis adalah tugas manusia.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi disbanding makhluk Tuhan lainnya. Manusia di anugerahi kemampuan untuk berpikir, kemampuan untuk memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan kelebihan itulah manusia seharusnya mampu mengelola lingkungan dengan baik.
Tidak hanya lingkungan yang perlu dikelola dengan baik, kehidupan sosial manusiapun perlu dikelola dengan baik. Untuk itulah dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya yang berjiwa pemimpin, paling tidak untuk memimpin dirinya sendiri.
Dengan berjiwa pemimpin manusia akan dapat mengelola diri, kelompok dan lingkungan dengan baik. Khususnya dalam penanggulangan masalah yang relatif pelik dan sulit. Disinilah dituntut kearifan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan agar masalah dapat terselesaikan dengan baik.

Satu pemikiran sentral ekologi sosial adalah bahwa dominasi manusia atas alam berakar dari dominasi manusia yang satu terhadap manusia lainnya. Gagasan bahwa masyarakat harus ditataulang sesuai prinsip-prinsip ekologis – kesatuan dalam keragaman, spontanitas dan mutual aid – tidaklah berdasarkan analogi gampangan antara masyarakat dan alam. Melainkan didasarkan atas gagasan bahwa relasi antar mahluk hidup, membentuk dan menentukan relasi mereka dengan alam. Penghapusan dominasi manusia terhadap alam, memerlukan penghapusan dominasi di dalam masyarakat manusia.
Ekologi sosial menuntut penghapusan segala bentuk hierarki dan dominasi. Pertanyaan politis yang muncul kemudian adalah, apakah hal itu berarti penolakan total terhadap politik atau apakah masih memungkinkan sebuah politik tanpa hierarki dan dominasi.
Murray Bookchin tampil paling jelas menyuarakan visi masyarakat ekologis yang menghapus hierarki dan dominasi. Dalam prosesnya, ia mulai dengan membedakan antara masyarakat, politik dan negara, dengan cara tertentu, sehingga memungkinkan menggapai wilayah politik yang berjarak, yang berbeda dengan masyarakat dan negara. Misalnya, orang bisa menghapus negara tanpa harus menghapus bentuk-bentuk politik. Bentuk politik yang diperjuangkan Bookchin, yang dinilainya paling cocok dengan masyarakat ekologis, bolehlah kita sebut sebagai‚ demokrasi swa-kelola’. Elemen yang terpentingnya adalah kedirian yang mengelola demokrasi, sebuah publik otentik yang terdiri dari sekumpulan diri, kelompok-kelompok afinitas yang akan membentuk ‚tisue sel’ masyarakat tertentu dan tindakan-tindakan politis dari aksi langsung dan demokrasi langsung.

Demokrasi swa-kelola punya tujuan khusus. Yakni agar setiap anggota masyarakatnya, memiliki kemampuan kontrol efektif terhadap kehidupan dirinya masing-masing. Ini berdasarkan pada asumsi bahwa setiap orang mampu dan kompeten melakukan kontrol-kontrol tertentu. Untuk mencapai kontrol ini, yang diperlukan adalah menghapus semua konsentrasi kekuasaan ekonomi dan politis, sehingga kekuasaan pengambilan keputusan terdistribusi secara setara meliputi keseluruhan masyarakat. Bentuk-bentuk kontrol yang dimiliki individu kelak, tidak akan berarti kontrol terhadap yang lain, melainkan kontrol dengan mereka di dalam dewan-dewan publik hasil demokrasi langsung. Soal kontrol ini juga jangan dikacaukan dengan konsepsi instrumental tentang kontrol terhadap sesuatu, sebagai obyek atau alat untuk mewujudkan kepentingan seseorang. Konsep yang belakangan ini mengarah ke obyektifikasi dan dominasi dari mereka yang difungsikan sebagai alat. Karena itulah mungkin akan lebih baik berbicara tentang ‚partisipasi setara dalam proses politik’ ketimbang ‚kontrol individual’.

Partisipasi setara, digabungkan dengan organisasi non-hierarkis, menawarkan basis untuk demokrasi swa-kelola tanpa spesialisasi politis yang, dengan struktur dasarnya, memang diniatkan untuk menjaga berkembangbiaknya dominasi politik dan ketimpangan kekuasaan. Tapi demokrasi swa-kelola tidak bisa ditangkap dalam pengertian institusional atau istilah-istilah struktural yang sepenuhnya murni. Seperti juga bentuk-bentuk organisasi politis lainnya, ia juga mengandaikan konsepsi-konsepsi tertentu tentang masyarakat. Partisipasi setara itu sendiri membutuhkan kesetaraan sosial. Tapinya juga bukan kesetaraan dalam arti setimbang. Melainkan, dalam istilah Bookchin, kesetaraan substantif yang digambarkannya sebagai ‚kesetaraan dari ketimpangan’. Untuk yakin bahwa setiap orang memiliki kemampuan yang sama — bukan sekedar sebuah kesempatan yang sama — untuk turut serta dalam manajemen urusan-urusan sosial, dibutuhkan tindakan pengimbangan bagi orang-orang yang sebelumnya tidak punya kemampuan untuk itu. Dengan demikian mereka bisa turut serta dalam kehidupan sosial pada tingkatan yang sama dengan yang lain. Selain memperlakukan semua orang secara sama, orang juga diperlakukan dengan cara yang paling sesuai dengan situasi mereka.

Betapapun, hal ini tidak berarti diterimanya relasi timpang yang inheren dalam status dan kekuasaan. Relasi dominan yang didasarkan pada kelas, seks atau ras tidak sesuai dengan konsepsi demokratis kehidupan sosial. Yang begituan tidak bisa dialihkan atau diimbangi dengan sesuatu, tapi harus dihapuskan. Guna memungkinkan setiap orang turut serta dalam urusan-urusan sosial pada tingkatan yang setara, dibutuhkan bukan saja tindakan menyamakan kemampuan terlebih dahulu, tapi juga penghapusan dominasi dan ketimpangan kekuasaan dalam relasi interpersonal.
Partisipasi setara, jika mau lebih dari sekedar formalitas doang, juga membutuhkan, secara kasar saja, kompetensi sosial yang setara dalam manajemen kehidupan publik. Dengan kata lain, manajemen-diri punya anggapan awal tentang sesosok diri yang kompeten untuk mengelola masyarakat secara langsung. Sesosok diri yang terbentuk tidak hanya melalui keikutsertaan dalam proses demokratis itu sendiri, tapi juga melalui interaksi dengan yang lain dalam berbagai relasi sosial yang egaliter dan sukarela. Melalui interaksi tertentu inilah seseorang mengembangkan karakter moral, identitas personal dan berbagi nilai-nilai dan keyakinan sehingga memungkinkan orang untuk terlibat dalam wacana rasional dengan yang lain. Kosakata berbagi moral dan nilai-nilai dalam konsep intersubyektif ini menawarkan basis bagi penjadian, secara saling menguntungkan dan dapat dimengerti, keberagaman praktek-prektek sosial dalam kehidupan sehari-hari – misalnya dalam hal janji atau saling berjanji. Diri yang kompeten secara sosial, dengan demikian, beranggapan awal tentang masyarakat yang disuarakan dengan segenap kekayaannya dan dari situlah ia terus berkembang.

Tanpa hal itu, sosok diri akan terkikis menjadi sosok teralienasi, ego yang berdiri sendirian dan lapuk dimakan erosi, moralitas menjadi sekedar ekspresi selera yang sewenang-wenang dan nalar dikikis statusnya cuma sebagai alat untuk mencapai kesewenangan selera itu. Proses ini lebih diperburuk dengan dihantarkannya setiap elemen pemaksaan atau dominasi ke dalam kehidupan sosial. Bukannya bertindak sesuai dengan nalar mereka masing-masing, orang jadinya malah bertindak di atas dasar bujukan dan ancaman. Nalar akan digunakan untuk memanipulasi dan mendominasi yang lain. Nalar menjadi instrumen kehendak untuk berkuasa ketimbang sebagai perkakas pencerahan dan penyadaran yang saling berbalasan. Jika pengambilan keputusan demokratis menjadi lebih sebagai penjumlahan total selera yang sewenang-wenang dan nalar condong sebagai instrumen ambisi, perkembangan ‚nalar’ publik yang meninggikan subyektivitas individual, yang diciptakan melalui interaksi dengan yang lain dalam keberagaman situasi dan relasi, menjadi kebutuhan utama yang tak tertolak.
Soal ini membutuhkan transformasi masyarakat yang beranjak mulai dari relasi sosial yang paling dasar terus bergulir ke atas. Di tengah masyarakat kontemporer, tampaknya locus primer pembentukan karakter dan perkembangan kesadaran berada pada relasi keluarga inti. Lantaran ia dibesarkan oleh struktur patriarki, maka ia menawarkan model yang tidak sesuai bagi masyarakat ekologis. Ia menyuntikkan karakter otoriter, menyebarkan kepasrahan terhadap penguasa dan memangkas tumbuh-bebasnya individualitas perempuan. Ia adalah dominasi laki-laki yang dilembagakan dan disucikan oleh Gereja dan Negara.

Kendati kesan bagusnya ia bersifat sukarela, diijinkannya relasi perkawinan, sekali ia diberikan, hanya bisa ditarik kembali lewat ijin Negara dan Gereja. Di dalam relasi perkawinan itu sendiri, di banyak kawasan, perempuan masih tetap tidak bisa melepaskan diri dari relasi seksual, karena perkosaan oleh suami masih diluar kewenangan hukum. Basis kesepakatan perkawinan cenderung sebagai samaran dan mengkacaukan sifat aslinya. Para perempuan di kebanyakan masyarakat, walaupun statusnya berada di bawah para lelaki, toh sering digambarkan sebagai individu yang bebas dan setara dalam relasi yang sukarela. Dalam pertukaran dengan keamanan dan perlindungan yang mengada-ada (yang melahirkan epidemi kekerasan terhadap perempuan dalam relasi keluarga), perempuan memberikan pelayanan seksual, membesarkan anak dan tenaga buruh tak berupah. Bahkan dibawah standar borjuis, itu pun bukan pertukaran yang adil.
Guna menjamin partisipasi setara lelaki dan perempuan dalam kehidupan sosial, sangatlah prinsipil untuk menjamin bahwa relasi antar lelaki dan perempuan benar-benar berada dalam kesepakatan egaliter dan sukarela. Kedua jenis kelamin itu harus bebas berkembang sebagai individu sesuai dengan kebutuhan dan hasrat masing-masing. Keduanya membutuhkan bentuk baru persekutuan intim yang ramah, didalamnya masing-masing mengembangkan kapasitas individualnya untuk bertindak dalam kooperasi dengan yang lainnya dan untuk mengolah penilaian politis dan moral. Asosiasi bentuk baru ini, yang akan membentuk dasar ‚sel tisue’ masyarakat ekologis, akan berupa kelompok-kelompok yang karib, kelompok afinitas.
Kelompok afinitas adalah sebuah asosiasi kecil, non-hierarkis, sukarela dari individu-individu yang saling berbagi tidak hanya impian-impian dan tujuan-tujuan tertentu, melainkan juga ‚kebutuhan untuk mengembangkan relasi sosial libertarian yang baru antar mereka, secara slaing menguntungkan saling belajar, berbagi problem dan mengembangkan ikatan dan aktivitas baru, non-sexist, non-hierarkis ’(1).

Kekariban kelompok kecil dan karakter kesukarelaannya, menumbuhkan solidaritas sejati dan pengenalan mutual dari otonomi dan harga diri masing-masing orang. Keterpaksaan biologis dan volunterisme pura-pura dari kontrak perkawinan akan digantikan oleh komitmen sukarela kepada modus organisasi yang non-hierarkis dimana setiap orang menikmati status dan tanggungjawab yang sama. Melalui interaksi kelompok afinitas, orang-orang mengembangkan kepekaan non-hierarkis dan kompetensi sosial dari diri yang terbebaskan bagi sebuah masyarakat swa-kelola.

Kelompok afinitas tidak membentuk sebuah unit yang terisolasi dari masyarakat. Ia berakar dari lokalitas autentik dirinya dan tergabung dengan kelompok-kelompok lain dalam jaringan kerja horisontal secara berkelanjutan, perlahan tapi pasti berkembang merespon tantangan kebutuhan dan kondisi sekitarnya. Akan ada perkembangbiakan ikatan-ikatan sosial yang konstan manakala kombinasi-kombinasi baru dari berbagai kelompok muncul sebagai pemenuhan kebutuhan-kebutuhan baru. Masing-masing kelompok terdesentralisasi, berada dalam skala manusia dan berdasarkan pada konsensus, serta tetap dapat dimengerti dan responsif terhadap dinamika anggota-anggotanya. Pada tingkatan keorganisasian yang lebih tinggi, koordinasi bisa dicapai melalui pemanfaatan perwakilan-perwakilan yang selalu bisa ditarik kembali kewenangannya (recallable) dan dengan kekuasaan pengambilan keputusan yang tidak berdiri sendiri. Bookchin menegaskan bahwa dalam jaringan kerja yang berdasarkan struktur kelompok afinitas, ‘kekuasaan sebenarnya menipis secara beraturan ketimbang meningkat pada setiap lapis koordinasi ke atas’ (2).

Sementara kelompok afinitas menyatakan unit sosial paling mendasar dari masyarakat ekologis, aksi langsung menyatakan tindakan sosial melalui itu individu menegaskan kemampuan mereka untuk mengontrol kehidupan milik mereka sendiri. Aksi langsung bukan sekedar taktik, melainkan ekspresi politis dari kompetensi individu untuk secara langsung terjuan berperan dalam kehidupan sosial dan mengelola urusan-urusan sosial tanpa mediasi, perwakilan atau kontrol dari para birokrat atau politisi profesional. Individu menerapkan aksi langsung sebagai pengganti, ketimbang mempercayakan kepada orang lain untuk bertindak bagi kepentingan dirinya. Tindakan ini meliputi aktivitas-aktivitas dalam skala luas, dari mengorganisasikan kerjasama sampai ke untuk membangkitkan resistensi tanpa kekerasan terhadap kekuasaan atau kewenangan. Struktur kelompok afinitas kerap menawarkan wahana yang cantik bagi terselenggaranya aksi langsung, yang menempatkan komitmen moral di atas hukum positif. Hal ini tidak berarti sebagai satu-satunya upaya yang terakhir jika cara lain gagal dijalankan. Tawaran itu sekedar jajaran pilihan untuk melakukan sesuatu. Ia memungkinkan warga untuk mengembangkan sentuhan baru rasa percaya diri dan sebagai kesadaran kuasa individual dan kolektif mereka. Didasarkan pada gagasan bahwa seseorang bisa mengembangkan kompetensi sosial dan kemampuan untuk mengatur diri sendiri hanya melalui latihan, maka ia mengajukan bahwa seluruh anggotanya secara langsung memutuskan masalah-masalah penting yang mereka hadapi. Dalam ruang politik, hal ini menegaskan penerapan demokrasi langsung. Ketimbang memasrahkan diri pada wakil-wakil hasil pemilu, orang-orang dan warga mengolah keputusan-keputusan politik oleh diri mereka sendiri di dewan-dewan umum.
Bagi Bookchin, demokrasi langsung menuntut desentralisasi dan skala manusia, ‚penataan kehidupan kota sebagai bentuk yang dapat dimengerti dari kehidupan publik’, yang mana tidak hanya bentuk-bentuk, struktur dan organisasi sosial yang dilahirkan komunitas itu bisa dimengerti oleh setiap orang, tetapi juga ‚sesungguh-sungguhnya individu-lah ….yang membentuk sosok kewargaan’ (3).

Anggota-anggota komunitas bertemu dalam dewan-dewan demokratis secara langsung, bisa memperdebatkan masalah-masalah bersama dan menyusun kebijakan-kebijakan demi tercapainya tujuan-tujuan kolektif. Keturutsertaan dalam proses politik punya dampak edukatif, menciptakan sebuah ‚pembesaran mentalitas’ yang tidak terjerat kepentingan-kepentingan sempit yang tertentu dan menumbuhkan penilaian politis yang autentik. Debat publik dan diskusi membantu mengembangkan konsepsi bersama tentang kebaikan publik yang mengacu kepada kehidupan sosial yang mau ditata dan konflik yang mau diatasi. Relasi sosial menjadi transparan bagi semua dan menjadi pokok yang berada dibawah kontrol manusia. Melalui komunikasi berhadap-hadapan muka langsung, warga mengembangkan kesadaran diri dan komunal. Setiap orang merasa sebagai bagian sebuah kehadiran fisik, sesosok tubuh politik, di dalamnya ia adalah sepenuhnya anggota aktif. ‚Partisipasi langsung dalam kehidupan sosial dan pengembangan daulat-diri secara mutual memperkuat masing-masing orang untuk membentuk kebajikan dan komitmen kewargaan dari setiap warganya,(4)’ tulis Bookchin.

Keikutsertaan dalam dewan harus terbuka lebar bagi segenap anggota komunitas. Ini membutuhkan lebih dari sekedar tanda diterima formal bagi keanggotaan individual. Setiap orang memerlukan alat, perkakas, yang memadai agar memungkinkan ia berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang luas dan bobot perannya setara dengan yang lainnya. Ini adalah kebutuhan ‚minimal mutlak’ dari jaminan material dan waktu bebas bagi semua. Ada satu kepentingan publik yang penting dalam organisasi produksi dan konsumsi dalam masyarakat ekologis, yang menjamin ‚minimal mutlak’ dan untuk memastikan bahwa teknologi tepat-guna dan metode-metodenya, secara ekologis, digunakan. Hanya untuk alasan inilah, kepemilikan privat alat-alat produksi tidak sesuai bagi masyarakat ekologis. Kewenangan privat seorang boss dan eksploitasi buruh upahan, tidak cocok dengan karakter relasi bebas dan sukarela dari masyarakat swa-kelola. Kendati tempat kerja, melalui dirinya sendiri, tidak menyatakan sebuah ruang publik yang autentik, ia tetap perlu diorganisasikan sesuai prinsip-prinsip swa-kelola para pekerja.
Kebijakan sosial harus diputuskan oleh semua anggota komunitas di dalam dewan umum. Namun jika penerapan kebijakannya membutuhkan serangkaian tindakan administratif, hal ini bisa dicapai melalui ‚badan administratif terbatas yang berada di bawah aturan rotasi, recall, pembatasan masa jabatan dan, apabila memungkinkan, dipilih melalui penyaringan’ (5).

Ini akan menjaga berkembangnya spesialisasi politik dan munculnya birokrasi permanen dengan kepentingannya sendiri dan agenda untuk mencengkeram. Relasi antara komunitas-komunitas dapat didasarkan pada konsepsi anarkis tentang federalisme – sebuah asosiasi yang terus meluas, yang terfederasi secara bebas dari komunitas-komunitas otonom.
Orang bisa menjelaskan sketsa awal dari demokrasi swa-kelola; sedangkan segala detail-detailnya akan memerlukan penerapan dalam praktek melalui individu-individu bebas yang terasosiasi dalam beragam kelompok-kelompok sukarela yang terorganisir secara non-hierarkis. Meskipun demikian, ada beberapa isu umum yang dapat diangkat merujuk ke ajuan Bookchin untuk demokrasi langsung dan relasinya dengan ideal-ideal ekologis sebuah masyarakat tanpa hierarki dan dominasi.
Satu yang terpenting dari pemikiran Bookchin, adalah bahwa memungkinkan untuk menyelenggarakan politik tanpa Negara. Di atas wilayah aktivitas dan relasi sosial sehari-hari, apakah di tempat kerja atau dalam kekariban kelompok afinitas, ada sebuah kebutuhan akan ruang publik yang autentik di mana seluruh anggota komunitas bisa saling bertemu untuk berdebat atau mendiskusikan masalah-masalah, dan untuk memutuskan tindakan-tindakan demi kepentingan umum. Untuk menyatakan bahwa pemerintah bisa digantikan oleh bengkel kerja dan administrasi sederhana, sebagaimana pernah dilakukan Proudhon, menunjukkan sebuah kesalahpahaman tentang peran kerja dalam masyarakat. Tempat kerja hanyalah satu kawasan di dalamnya orang-orang berasosiasi. Kepentingan-kepentingan yang direpresentasikannya terlampau terbatas dan sempit untuk menjangkau kepentingan umum yang melibatkan segenap anggota komunitas.
Begitu juga administrasi : ia tidak lagi sesederhana sebagaimana dibayangkan sosialis abad ke 19 seperti Proudhon. Bahkan badan administratif yang dibatasi bisa membiakkan kepentingan-kepentingannya sendiri dan merebut kontrol atas wilayah-wilayah tertentu kehidupan sosial dari komunitas pada umumnya. Pengawasan institusional, seperti pembatasan masa jabatan dan seleksi melalui penyaringan, amatlah perlu untuk menjaga badan administratif agar ia tidak menghisap sumber kekuasaan sosial lalu berdiri terpisah. Proudhon sendiri menyadari keterbatasan pandangan-pandangan awalnya dan lalu mendukung bentuk demokrasi langsung dan federalisme dalam karya-karyanya yang belakangan (6).

Kepercayaan begitu saja pada spontanitas juga bisa salah tempat. Orang tidak bisa hanya berserah di bawah naungan Tuhan untuk memastikan bahwa kehidupan sosial akan tumbuh seiring garis libertarian. Pada masyarakat tertentu, beberapa orang toh menikmati keuntungan-keuntungan di atas yang lainnya, sesuatu yang terjadi dengan simpel lantaran kebajikan di kondisi sekitar personal tertentu, karena bakat individual yang lebih menonjol dan, terkadang, karena peristiwa-peristiwa kebetulan. Bahkan dalam sebuah masyarakat yang sepenuhnya berdasarkan asosiasi sukarela, asosiasi-asosiasi mungkin tampil menguntungkan bagi segmen tertentu di masyarakat di atas beban segmen lainnya. Manakala tidak ada perangkat instusional yang mengurusi perbedaan keuntungan dan kekuasaan, atau yang menjaga mereka dari disparitas itu sedari awal, konflik sosial terbuka dan pergumulan akan pecah. Jika tidak ada arena bagi artikulasi publik mengenai nilai-nilai dan tujuan-tujuan sosial, tatanan mungkin tergelar melalui kepatuhan tak terpikirkan kepada kebiasaan sosial dan tradisi, yang tetap tak teruji melalui kesadaran kritis.
Dalam demokrasi swa-kelola, keganjilan-keganjilan takdir digantikan oleh kontrol sosial yang sadar, melalui individu-individu bebas yang sadar dan kompeten secara sosial dan antar mereka saling terasosiasikan. Setiap anggota komunitas punya suara yang sama dalam mengelola urusan-urusan sosial. Relasi sosial tampil transparan di bawah sorotan diskusi dan debat publik. Tebal-gelapnya kebiasaan dan tradisi digantikan oleh artikulasi sadar komunitas dalam dewan yang setiap aturannya dipatuhi. Masyarakat tampil otonom dalam arti mengatur-diri sepenuhnya. Pada saat yang sama ketika warga diikat oleh aturan yang mereka ciptakan, mereka tetap berdiri superior terhadap sekumpulan aturan tersebut. Maksudnya, memungkinkan bagi mereka untuk mengubahnya setiap saat, sepanjang kebutuhan dan kondisi sekitar yang baru memang menuntut itu. Dewan menawarkan sebuah forum untuk ekspresi bagi seluruh kepentingan yang banyak itu, yang berasal dari berbagai anggota komunitas, dan tidak hanya kepentingan-kepentingan khusus dari kelompok-kelompok tertentu saja – misalnya, kelompok buruh atau lelaki saja. Dengan demikian memungkinkan berkembangnya kepentingan umum yang sejati dan pada akhirnya untuk kemungkinan meninggikan pengertian kepentingan yang bisa menjangkau solidaritas dan komunitas.
Begitu demokrasi swa-kelola menciptakan sebuah wilayah publik yang berbeda dengan yang semata-mata sosial, maka ia menciptakan sebentuk politik yang berbeda dengan Negara. Negara adalah sebuah organisasi hierarkis yang menerapkan kekuasaan dan kewenangan terpusat terhadap segala sesuatu yang ia klaim berada di bawah jurisdiksi atau kewenangannya. Partisipasi setara di bawah Negara modern, jelas mustahil mengingat begitu besar dan kompleksnya Negara. Negara tidak akan hadir tanpa birokrasi permanen dan aparat yang memaksakan tatanan terhadap massa yang tak patuh, yang dijauhkan dari kekuasaan yang real.
Demokrasi swa-kelola, sebaliknya, terdesentralisasi sehingga kehidupan sosial berada dalam skala yang dapat dimengerti. Semua anggota komunitas berpartisipasi setara dalam aturan sosial. Tak seorang pun yang ditendang keluar dari dewan, itulah kursi sejati kekuasaan sosial kolektif. Dewan umum dan bentuk-bentuk lain asosiasi, dari kelompok afinitas sampai tempat kerja, diorganisasikan di atas basis non-hierarkis. Kewenangan tersebar ke seluruh anggota komunitas. Birokrasi dijaga oleh, apabila diperlukan, struktur badan administratif terbatas yang bisa di-recall, dibatasi masa jabatannya dan diseleksi lewat penyaringan. Tidak ada kebutuhan akan aparat yang memaksa, sebab warga berada di bawah aturan yang mereka ciptakan sendiri dan bisa berubah.
Negara, utamanya, adalah sebuah organisasi yang diluar kemauan. Mereka yang menolak kewenangannya dan mengabaikan aturan-aturannya akan dibui atau diasingkan. Guna membangun bentuk politik yang sepenuhnya berbeda dengan Negara, demokrasi swa-kelola harus berada dalam kerangka kesukarelaan. Hanya mereka yang sukarela bersepakat ikut serta dalam dewan yang bisa terikat dalam keputusan-keputusannya. Jurisdiksi atau cakupan kewenangannya tidaklah didasarkan pada geografi atau sekumpulan kekuasaan tertinggi, melainkan di atas pengertian kewajiban yang dia tentukan sendiri. Dengan berasosiasi bebas dengan yang lain untuk maksud pengambilan keputusan kolektif, warga membuat ikatan horisontal tentang kewajiban politik antar mereka sendiri, ketimbang antar mereka dengan kumpulan yang terpisah seperti ‚Negara‘ (7).

Sebentuk pengertian tentang kewajiban yang ditentukan sendiri, amatlah perlu untuk memastikan bahwa demokrasi swa-kelola memang membangun bentuk organisasi politik yang benar-benar mengenyahkan dominasi. Ia mendasarkan diri pada gagasan bahwa pilihan demokratis haruslah analog dengan tindakan sosial memberi janji. Sebuah pilihan adalah tindakan publik untuk berkomitmen, dengan itu seseorang mengikatkan perilaku di masa selanjutnya. Penerapannya mengandaikan kompetensi sosial untuk memberikan penilaian politik, seperti halnya juga sebuah janji yang mengandaikan kemampuan untuk membuat penilaian moral. Setiap individu harus memutuskan apakah dia sebaiknya meneguhkan diri pada sekumpulan aturan di masa selanjutnya. Dengan demikian, mengeluarkan sebuah janji dan memilih demokrasi langsung mengandaikan – dan bukannya mengabaikan — adanya otonomi individu, kemampuan bernalar secara kritis dan bebas memilih tindakan-tindakannya sendiri.